Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi

- Penulis

Rabu, 9 Oktober 2024 - 00:35 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

OPINILopoNTT.comRD. Yudel Neno – Irasional dalam arti sederhana ialah tidak rasional atau tidak dapat diterima dengan akal budi karena tidak masuk akal. Dikatakan tidak masuk akal karena ada kesenjangan hubungan sebab-akibat dalam cara berpikir dan cara berbicara.

Baca Juga : Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi

Dalam dunia filsafat, sesuatu dikatakan irasional apabila seseorang melakukan rasionalisasi ; membangun alasan-alasan logis terhadap sesuatu yang salah atau bisa juga terjadi bahwa hoaks dipoles selogis mungkin sehingga menciptakan kesan; seolah-olah benar-benar terjadi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam dunia politik, merupakan irasional kalau isu SARA begitu kuat dimainkan, sementara tujuan politik yang sebenarnya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kesejahteraan bersama ini hanya mungkin kalau semuanya benar-benar bersatu.

Baca Juga : Menimbang Irasionalitas

Reza A.A. Wattimena dalam sebuah tulisan yang berjudul Menimbang Irasionalitas, menguraikan konsep yang menarik tentang irasionalitas. Reza memperlihatkan irasionalitas sebagai sebuah cara berpikir dan sikap hidup yang tak sejalan dengan kepentingan dasariah manusia.

Baca Juga : Posmodernisme, Irasionalitas dan Keadaan Saat Ini

Lanjutnya lagi, ada dua kepentingan dasariah manusia. Yang pertama adalah kepentingan pelestarian diri. Yang kedua adalah kepentingan untuk mewujudkan kebaikan bersama yang secara langsung terkait dengan kepentingan pertama sebelumnya.

Baca Juga : Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi 

Berdasar pada dua kepentingan dasariah manusia di atas, irasionalitas seseorang dapat diukur. Belakangan, irasionalitas berarti cara berpikir dan cara bertindak yang menyimpang dari dua kepentingan dasariah di atas.

Baca Juga : Fenomenologi Ketidaktahudirian

Yang pertama, kepentingan pelestarian diri. Melestarikan diri berarti menjaga dan menimbang pola pikir, hati nurani, perasaan dan perilaku dalam hidup bersama. Di sini, konsep pelestarian lebih diri erat kaitanya dengan yang lain, dalam usaha bersama untuk memajukan martabat manusia dan kepentingan bersama. Karena itu melestarikan diri selalu berarti melibatkan yang lain, bukan bertindak sendiri apalagi semena-mena.

Aspek teologis dari politik ialah bahwa politik merupakan hal dan praktek yang masuk akal, dan karena itu, akses dan eksennya menjamin dan bermuara pada keselamatan banyak orang

Yang kedua, kebaikan bersama. Menurut Aristoteles, politik merupakan ruang dan aktivitas untuk mencapai kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan. Konsep ini, oleh Aristoteles disebut eudaimonia. Di sini, Aristoteles sebenarnya ingin memperlihatkan bahwa politik merupakan corong dari idea-etis untuk mengungkapkan dirinya di tengah masyarakat manusia.

Sabatikal politik dengan landasan irasional; tidak lebih dan tidak bukan; kecenderungannya hanya akan menghasilkan kebijakan dan tindakan irasional pula

Lantas, apa kaitannya irasionalitas dengan dua kepentingan dasariah di atas?

Pertama-tama, saya mengajak anda untuk mencermati fenomena politik yang terjadi belakangan ini. Kalau kita mengikuti betul, kita akan menemukan fakta saling menuding, saling mendiskreditkan, saling nyinyir, ujaran kebencian, hoaks dan berbagai fenomen miris lainnya.

Ketika seseorang mengambil langkah irasional dalam politik, dalam langkah yang samapun, entah disadari atau tidak disadari, ia sedang melakukan tindakan pengkhianatan terhadap martabat akal budinya 

Menariknya adalah, fakta dan situasi seperti di atas, justru terjadi di tengah bangsa ini dalam suasana demokrasi menjelang pemilu. Irasionalitas nampaknya begitu kuat terkait adanya pihak tertentu yang lebih mengutamakan pelestarian dirinya dengan cara yang ditempuh adalah melemahkan pihak lain dengan berbagai cara irasional.

“Demokrasi sejati hanya mungkin di mana martabat manusia dihormati, di mana hak-hak manusia diakui, di mana persyaratan kebaikan bersama dipenuhi, dan di mana kebebasan penuh bagi individu dijamin.” Paus Yohanes Paulus II dalam Centesimus Annus

Fakta saling tuding menuding bahkan terhadap eksistensi bangsa pun ikut dimainkan. Berbagai rasionalisasi defensif entah filosofis maupun politis dilancarkan dengan kesan yang lebih kuat untuk menampakkan popularitas diri sebagai pemikir dan praktisi.

“Kebijaksanaan politik tidak boleh menjadi sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, tetapi harus dipandu oleh cinta kasih dan kebenaran.” Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate

Jabatan-jabatan pun dipakai sebagai alasan untuk membenarkan begitu saja alasan-alasan politis. Bahkan pihak oposisi, terkesan memandang pemerintah sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Fenomen seperti ini dapat diukur dari berbagai aksi hypercritical yang selalu menempatkan pemerintah sebagai kesatuan yang selalu tak berdaya.

“Politik adalah salah satu bentuk cinta kasih tertinggi, karena berusaha mencapai kebaikan bersama.”Paus Fransiskus dalam Frateli Tutti

Yang kedua, Kepentingan bersama. Untuk mencapai kepentingan bersama, saratnya adalah partisipasi yang aktif dan sadar dari setiap warganegara. Partisipasi yang aktif dan sadar berarti seluruh potensi, tenaga dibaktikan untuk kepentingan bersama.

Adalah tugas orang-orang Kristen yang memiliki kecakapan politik untuk membuat pilihan konkret yang sejajar dengan iman mereka.” – Paus Paulus VI dalam Octogesima Adveniens

Menurut Aristoteles, Habermas dan Hannah Arendt, ruang dan aktivitas untuk mencapai kepentingan bersama ini adalah politik. Ketiga pemikir ini sesungguhnya disatukan dalam apa yang saya sebut sebagai rasionalitas kemanusiaan. Rasionalitas kemanusiaan berarti manusia dan segala kepentingannya, mampu dideskripsikan dan ditata secara bijaksana, agar tidak saling merugikan dan mengabaikan.

Aristoteles mengemukakan dua jenis keutamaan yakni keutamaan intelektual dan keutamaan. Kedua keutamaan ini merupakan basis yang kuat dan terutama dalam kehidupan bersama untuk mencapai kebahagiaan. Habermas mengemukakan tentang ruang publik sebagai media bagi setiap insan untuk membangun interaksi sosial dengan komunikasi intersubyektif.

“Seperti halnya negara tidak boleh mengambil alih dan melakukan apa yang bisa dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kecil, demikian juga urusan yang dapat diurus oleh masyarakat yang lebih rendah tidak boleh diambil alih oleh komunitas yang lebih tinggi.” Paus Pius XI dalam Ensiklik Quadragesimo Anno

Hannah Arendt mengemukakan tentang perlunya hati nurani yang tidak tumpul dan cara berpikir yang tidak malas untuk mencermati segala realitas sosial yang mengitari hidup manusia.

Filsuf Hannah Arendt, dalam karyanya tentang totalitarianisme dan “The Banality of Evil”, menguraikan bagaimana kejahatan politik seringkali dilakukan oleh individu yang patuh terhadap sistem tanpa berpikir kritis tentang tindakan mereka.

Mencermati uraian tentang pemikiran ketiga filsuf ini, kiranya jelas bahwa kepentingan bersama erat kaitannya dengan keutamaan-keutamaan, bukan kebencian dan hoaks, komunikasi yang intersubyektif, bukan saling menuding dan menghakimi, hati nurani yang tidak tumpul dan cara berpikir yang tidak malas, bukan saling mencatut, iri dengki, dan cara berpikir mengkambinghitamkan orang lain.

“Where there is no law, there is no freedom.” – John Locke

Sebagai catatan akhir, mari kita rumuskan akar-akar dari irasionalitas. Yang pertama, tumpulnya hati nurani. Hati nurani yang tumpul menyebabkan orang tidak memandang yang lain sebagai sesama. Ini irasional. Berbagai situasi yang mengitarinya pun selalu dipandang dan dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.

Aristoteles berargumen bahwa manusia, sebagai makhluk sosial, secara alami berhubungan dengan kehidupan politik dan negara. Kehidupan politik dianggap penting untuk mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang baik.

Yang kedua, malas berpikir. Malas berpikir adalah akar dari segala irasionalitas. Ketika Hannah Arendt menyaksikan seorang Eichman yang merasa biasa-biasa saja setelah diadili karena membunuh banyak orang dalam peristiwa NAZI Jerman, Arendt menyimpulkan bahwa fenomen seperti itu terjadi karena Eichmann malas berpikir. Kemalasan berpikir ini disebabkan oleh ketumpulan hati nurani.

“The price of apathy towards public affairs is to be ruled by evil men.” – Plato

Yang keempat, motif kebencian dalam komunikasi. Komunikasi sering dipakai sebagai corong untuk mengumbar kebencian atau ujaran kebencian. Kita bisa menilai posisi bathin seseorang berdasarkan rumusan kata-kata dan konsep yang diungkapkannya. Di sini, komunikasi yang menggunakan kata-kata semisal, dungu, sontoloyo, dan kata-kata mirisnya lainnya, merupakan contoh bagaimana komunikasi menghadirkan kebencian. Menurut Habermas, komunikasi seperti ini bukan komunikasi intersubyektif. Komunikasi intersubyektif merupakan suatu pola komunikasi di mana kedua subyek tidak saling mendiskreditkan.

Yang ketiga, homo homini lupus. Istilah dikemukakan oleh Filsuf Thomas Hobbes. Walaupun konteks asli muncul isitilah ini adalah konteks perang tetapi kiranya ada makna yang berharga yang dapat dipetik. Bahwa ketika diantara manusia saling memandang saling lawan yang perlu dimusnahkan, berbagai cara dapat ditempuh entah ujaran kebencian, saling mengkambinghitamkan, saling mendiskreditkan, saling diskriminasi dan berbagai saling lainnya. Semuanya ini irasional.

Sebagai ajakan demokratis terhadap para pemikir, praktisi, generasi muda, dan masyarakat pada umumnya, mari kita membongkar irasional menjelang suksesi dan membangun ulang rasionalitas kemanusiaan demi memanusiakan politik, demokrasi dan pemilu.

 

Penulis : RD. Yudel Neno

Facebook Comments Box

Penulis : RD. Yudel Neno

Editor : Tim LopoNTT

Berita Terkait

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir
Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya
Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan
Makna Hidup di Era Algoritma
Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Pemikiran Alfred North Whitehead tentang Tuhan dan Kejahatan
Kemerdekaan Berpendapat dan Tantangannya dalam Pergeseran Wadah dan Cara
Menghindari Sikap Sinis dan Memperkuat Sikap Skeptis dalam Jurnalisme
Berita ini 6 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 30 Oktober 2024 - 08:47 WITA

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir

Selasa, 22 Oktober 2024 - 20:24 WITA

Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya

Selasa, 22 Oktober 2024 - 16:10 WITA

Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan

Senin, 21 Oktober 2024 - 21:19 WITA

Makna Hidup di Era Algoritma

Senin, 21 Oktober 2024 - 14:55 WITA

Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia

Berita Terbaru

Photo by <a href=Greg Bulla on Unsplash " width="129" height="85" />

Pemasaran Digital

Tips Mendapatkan Kata Kunci dalam Hitungan SEO

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:09 WITA

Pemerintahan

Mengapa Donald Trump Menang? Dan Apa Dampaknya Buat Indonesia

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:05 WITA

Politik

Tipologi Pemilih dan Tipe Pemilih yang Ideal

Rabu, 6 Nov 2024 - 02:51 WITA

Refleksi

Diam Bersama dengan Rukun

Kamis, 31 Okt 2024 - 05:33 WITA