LopoNTT.com – Menenun Mutiara di Balik Kegiatan OGF Unio Regio Nusra, oleh Rm. Yudel Neno, Pr – Kegiatan On Going Formation (OGF) adalah proses pembelajaran berkelanjutan yang mengedepankan pembentukan diri dan pengembangan potensi. Secara filosofis, kegiatan OGF menandai suatu upaya menyusun nilai-nilai dan pengalaman hidup menjadi sesuatu yang berharga. Itulah yang disebut sebagai “menenun percikan mutiara. Proses ini melibatkan refleksi mendalam, di mana setiap pengalaman dianggap sebagai butiran mutiara yang memiliki makna. Oleh karena itu, kegiatan OGF tidak sekadar rutinitas, tetapi merupakan sebuah perjalanan menuju pencapaian diri yang lebih baik. Proses ini mengandaikan ada dan peran dari yang lain. Maka OGF pada prinsipnya bercorak kolegialitas dan kolektivitas atau dalam istilah Paus Fransikus, disebut Sinodalitas.
“All genuine education comes about through experience – “Semua pendidikan yang sejati berasal dari pengalaman.” – John Dewey
Filsafat pendidikan mengajukan bahwa setiap individu memiliki potensi yang unik yang perlu digali dan dikembangkan. Dalam OGF, setiap kegiatan berfungsi sebagai jembatan untuk menghubungkan pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh. Konsep ini selaras dengan pandangan John Dewey, yang menyatakan bahwa pengalaman adalah dasar utama dari pendidikan. Dengan demikian, menenun percikan mutiara di OGF berarti menghargai dan memanfaatkan setiap pengalaman sebagai pijakan untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan demikian, Unio Imam Projo bukan hanya sekadar konsep teologis, tetapi juga sebuah praktik pastoral yang mendukung kehidupan Gereja secara keseluruhan
Di dalam proses menenun, penting untuk memahami bahwa tidak semua pengalaman akan memberikan hasil yang sama. Ada kalanya, pengalaman yang sulit dan menyakitkan justru menghasilkan pelajaran berharga yang memperkaya kehidupan. Hikmahnya ialah masa yang sulit dapat membentuk karakter dan generasi yang kuat. Pemikiran ini mencerminkan filosofi eksistensialisme, di mana individu diajak untuk mengambil tanggung jawab atas pengalaman hidupnya dan menemukan makna di baliknya. Dalam konteks OGF, hal ini berarti menerima setiap pengalaman, baik yang positif maupun negatif, sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berharga.
“Dalam relasi Aku-Engkau, tidak ada jarak antara subjek dan objek. Engkau tidak diperlakukan sebagai ‘itu’ yang dapat dimanipulasi, tetapi sebagai subjek yang berdiri sama tinggi dan mempengaruhi dialog dengan setara.” – Martin Buber
Sebagai bagian dari menenun percikan mutiara, kolaborasi antar individu dalam OGF menjadi aspek yang tak terpisahkan. Kolaborasi dalam ruang lingkup sinodalitas akan bermuara pada elaborasi. Dalam kerangka komunitas belajar, interaksi antar peserta memberikan kesempatan untuk berbagi perspektif dan memperluas wawasan. Martin Buber, dalam filsafat dialognya, menekankan pentingnya hubungan antar manusia dalam membangun pemahaman. Oleh karena itu, melalui OGF, setiap individu berkontribusi dalam menciptakan jalinan pengetahuan yang lebih kaya dan bermakna.
“Segala kehidupan yang sejati adalah pertemuan” – Martin Buber
Terakhir, menenun percikan mutiara di OGF mengajak individu untuk mengembangkan sikap reflektif dalam menjalani setiap proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire, yang menekankan pentingnya kesadaran kritis dalam pendidikan. Dengan mengintegrasikan refleksi dalam setiap tahap OGF, individu tidak hanya belajar dari pengalaman, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi perjalanan hidupnya. Hasilnya, OGF tidak hanya menjadi wadah pengembangan keterampilan, tetapi juga sarana untuk menemukan makna yang lebih dalam dalam kehidupan.
“Critical consciousness is the ability to perceive social, political, and economic contradictions, and to take action against the oppressive elements of reality.” – “Kesadaran kritis, kesadaran yang mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang menindas, bukanlah suatu kesadaran yang pasif, tetapi kesadaran yang mengarahkan tindakan transformasi sosial.” – Paulo Freire
Uraian di atas sebetulnya merupakan wujud akomodasi pengalaman yang terjadi saat kegiatan OGF yang telah berlangsung, dimulai tanggal 14 Oktober hingga 19 Oktober lalu.
Kegiatan OGF yang terlaksana di Rumah Ret-Ret Susteran SSpS Belo itu merupakan realisasi dari hasil Munas XIV yang terlaksana di Mataloko.
Kegiatan dihadiri oleh para Imam Projo yang berasal dari Keuskupan-Keuskupan se-Regio Nusra-Bali. Ada Tujuh Keuskupan yang mengutus perwakilan imamnya, yakni Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Maumere, Keuskupan Larantuka, Keuskupan Weetebula, Keuskupan Denpasar dan Keuskupan Atambua. Peserta kegiatan berjumlah 29 Orang dengan usia imamat 0-10 tahun.
Kegiatan tersebut berlangsung lancar karena dikemas secara teratur dan terkoordinir oleh panitia.
Ditinjau dari aspek akademik, kegiatan OGF berfaedah karena menghadirkan Tiga Narasumber yang benar-benar profesional dalam bidang mereka. Ketiga Narasumber yang dimaksud ialah yang pertama ; Rm. Dr. Oktovianus Naif, Pr yang berbicara tentang Spiritualitas Imam Projo; yang kedua; Rm. Kanisius Pen, Pr yang berbicara tentang Pelayanan Sejati dalam Persaudaraan, dan yang ketiga; Profesor Alo Liliweri yang berbicara tentang Komunikasi Pastoral di Era Digital.
Ditinjau dari aspek sosio-pastoral, kegiatan OGF berfaedah karena suguhan pengalaman pastoral yang berbeda-beda sesuai situasi dan konteks Paroki dan Keuskupan masing-masing. Usai sharing dan diskusi, hasilnya diplenokan untuk diketahui bersama.
Ditinjau dari persaudaraan plus dan lintas, kegiatan OGF berfaedah karena terjadi persaudaraan dengan para Imam dan Umat saat kami datang ke sana untuk merayakan Ekaristi harian yang terjadi pada sore harinya. Disebut plus karena berlangsungnya persaudaraan itu, tidak hanya antara sesama Peserta yang berbeda-beda Keuskupan, tetapi juga dengan para Imam, Frater dan Diakon yang berada di Paroki-Paroki yang kami kunjungi. Disebut lintas karena persaudaraan itu tidak hanya terjadi antar imam dengan imam, tetapi juga imam dengan umat dalam berbagai kategorinya.
Ditinjau dari outputnya, kegiatan OGF menghasilkan suatu rekomendasi bersama untuk Unio Indonesia; Unio Regio Nusra, Unio Keuskupan dan terutama menjadi bahan pertimbangan untuk para Bapak Uskup di masing-masin Keuskupan.
Unio Imam Projo: Definisi dan Konsep
Istilah Unio Imam Projo merujuk pada kesatuan dan kerjasama antara sesama imam (pastor) dalam menjalankan misi Gereja. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, di mana “unio” berarti kesatuan atau persatuan, sedangkan “imam projo” secara harfiah berarti “imam umat”. Konsep ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemimpin gerejawi dan anggota komunitas dalam mewujudkan panggilan untuk evangelisasi dan pelayanan kepada sesama. Dalam hal ini, Unio Imam Projo diharapkan dapat membangun hubungan yang lebih erat antara imam dan umat, menciptakan suasana kebersamaan dalam iman, dan memperkuat komitmen untuk melayani.
“Saya mengajak kita semua untuk membangun Gereja sinodal, di mana kita semua berjalan bersama sebagai saudara dan saudari, mendengarkan satu sama lain dan dengan rendah hati menerima perbedaan kita.” – Paus Fransiskus
Dalam konteks pastoral, Paus Fransiskus memberi dasar dan arah bagi Unio Imam Projo melalui kontribusi pemikirannya tentang sinodalitas. Paus mengajak semua anggota Gereja untuk berkolaborasi dalam proses pengambilan keputusan dan pengembangan misi Gereja. Ini sejalan dengan semangat Unio Imam Projo, di mana baik imam (maupun umat) memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi dalam membangun komunitas iman yang kuat.
“Sinodalitas adalah jalan yang diharapkan Tuhan dari Gereja di milenium ketiga.” – Paus Fransiskus
Unio Imam Projo juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan keterbukaan antara imam dan umat. Dengan menjalin hubungan yang baik, diharapkan timbul rasa saling menghormati dan kepercayaan, yang akan memperkuat iman dan memperdalam kehidupan spiritual komunitas. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan seperti retret, dialog pastoral, dan pertemuan rutin menjadi sarana penting untuk membangun dan memperkuat Unio Imam Projo.
Dengan demikian, Unio Imam Projo bukan hanya sekadar konsep teologis, tetapi juga sebuah praktik pastoral yang mendukung kehidupan Gereja secara keseluruhan. Melalui kerjasama dan kesatuan antara imam dan umat, Gereja diharapkan dapat menjadi lebih efektif dalam menjalankan misi Kristus di dunia, menjawab tantangan zaman, dan memberikan saksi iman yang autentik kepada masyarakat.
Dari Berbagai Arah (Divergen) Menuju Satu Arah (Konvergen)
Arah sama arti dengan tujuan. Tujuan mensyaratkan dua hal, yakni titik star (mulai) dan titik akhir (simpul)
“Kebahagiaan adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia, dan merupakan aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan.” – Aristoteles
Secara filosofis, pemikiran teleologis (tujuan akhir) Aristoteles, memberi kontribusi akademik bagi kita bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, ia memiliki tujuan atau akhir yang dituju. Dalam hal ini, “berbagai arah” dapat diartikan sebagai berbagai upaya atau cara yang digunakan perindividu untuk mencapai tujuan yang sama sebagai tujuan akhir. Aristoteles meyebut tujuan akhir itu sebagai kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan (eudaimonia). , yaitu kebaikan atau tujuan akhir dalam kehidupan. Kebahagiaan sebagai tujuan akhir kehidupan manusia ini, dapat dicapai melalui berbagai cara yang sesuai dengan kebajikan.
“Eudaimonia adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan dalam suatu kehidupan yang lengkap.” – Aristoteles
Selain Aristoteles, Filsafat Budha hadir bagi kita dengan mengedepankan pentingnya praktek dan jalur spiritual sebagai jalan menuju pencerahan atau nirvana. Berbagai arah dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai beragam jalan yang diambil individu dalam pencarian mereka untuk memahami diri dan mencapai kedamaian batin.
“Pikiran adalah pendahulu dari segala tindakan. Segala sesuatu yang kita lakukan berasal dari pikiran. Jika seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang bersih, kebahagiaan akan mengikuti, seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan.” – Siddhartha Gautama (Buddha)
Sumbangan pemikiran lainnya datang dari Filsafat Hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer. Dalam bukunya Truth and Method, Gadamer berbicara tentang bagaimana interpretasi dan pemahaman bisa datang dari berbagai perspektif. Konsep ini menunjukkan bahwa meskipun orang mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang suatu hal, mereka tetap dapat mencapai pemahaman yang sama melalui dialog dan interaksi. Dalam konteks ini, “berbagai arah” adalah berbagai cara orang berinteraksi dan memahami satu sama lain, sementara “satu arah” mencerminkan pemahaman atau kesepakatan yang lebih dalam yang dapat dicapai melalui proses dialog.
“Interpretasi tidak pernah dapat dipisahkan dari tradisi di mana kita berada. Kita tidak dapat menghindari pra-anggapan dan latar belakang budaya kita saat kita mencoba memahami suatu teks.” – Hans-Georg Gadamer
Inti filosofisnya “berbagai arah menuju ke satu arah” mengisyaratkan bahwa meskipun individu dapat mengambil jalan yang berbeda dalam hidup, tujuan akhir mereka bisa jadi sama, baik itu mencari makna, mencapai kebahagiaan, memperoleh pencerahan, atau mencapai pemahaman bersama. Konsep ini mengajak kita untuk menghargai keragaman pengalaman manusia dan menghormati setiap perjalanan individu dalam mencapai tujuan mereka.
Satu Arah Berpusat pada Satu Tempat
Pemikiran tentang tempat sebagai ruang telah menjadi topik penting dalam filsafat, mencakup berbagai pendekatan dan perspektif yang berusaha memahami hubungan antara manusia, ruang, dan waktu.
“Ruang bukanlah sesuatu yang kosong atau hanya diisi oleh benda-benda. Ruang adalah cara di mana Dasein (keberadaan manusia) berhubungan dengan dunia dan mengungkapkan dirinya.” – Martin Heidegger
Filsuf Martin Heidegger dalam karya Being and Time, mengembangkan konsep ruang dengan menekankan pentingnya “being-in-the-world” (keberadaan dalam dunia). Ia berpendapat bahwa tempat bukan hanya sebuah lokasi fisik, tetapi juga memiliki makna ontologis yang berkaitan dengan cara manusia berinteraksi dengan dunia. Ruang menjadi konteks bagi pengalaman dan pemahaman manusia, di mana individu menemukan makna melalui keterhubungan mereka dengan lingkungan dan orang lain.
“Rumah adalah salah satu kekuatan terbesar dalam mengintegrasikan pikiran, kenangan, dan impian umat manusia.” – Gaston Bachelard
Sementara Filsuf Gaston Bachelard, tentang ruang dan estetika, dalam bukunya The Poetics of Space; mengeksplorasi pengalaman subjektif terhadap ruang, terutama dalam konteks rumah dan tempat tinggal. Ia menekankan pentingnya imajinasi dan memori dalam memahami tempat sebagai ruang yang membawa makna. Bachelard berargumen bahwa ruang bukan hanya fisik, tetapi juga dapat diisi dengan pengalaman emosional dan estetika, menciptakan ikatan yang mendalam antara individu dan lingkungan mereka.
Pada Satu Tempat Terdapat Satu Prioritas
Prioritas dalam konteks ruang mengacu pada pentingnya posisi atau lokasi tertentu dalam hubungan dengan nilai, fungsi, atau makna. Ruang bukan sekadar tempat fisik, tetapi juga konteks yang memberikan makna kepada interaksi dan pengalaman manusia. Dalam hal ini, prioritas menunjukkan nilai yang diberikan kepada suatu tempat.
Ketika ruang dipandang sebagai konteks yang memberi makna, di situlah letak titik temunya dengan prioritas. Bahwasannya perjumpaan antara ruang sebagai konteks yang memberi makna dan prioritas sebagai cara dan keterarahan menuju makna merupakan suatu perjumpaan spiritualitas konsentrasi.
Konsentrasi adalah kemampuan untuk memperhatikan tanpa terganggu
Tentang filosofi ruang, Martin Heidegger dalam konsepnya tentang “Being” (keberadaan) menunjukkan bahwa ruang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Menurutnya, keberadaan kita di dunia ini tidak terpisahkan dari ruang yang kita huni. Tempat memberi konteks bagi pemahaman dan pengalaman manusia, sehingga menentukan prioritas tempat juga berarti memahami eksistensi kita dalam konteks tersebut.
Gaston Bachelard dalam bukunya “The Poetics of Space,” menggali hubungan antara ruang dan imajinasi. Ia berargumen bahwa ruang bukan hanya tempat fisik, tetapi juga memiliki dimensi emosional dan psikologis. Prioritas dalam ruang dapat dilihat dari cara individu menginterpretasikan dan memberi makna kepada tempat tersebut, menciptakan pengalaman yang unik dan pribadi.
Intinya ialah prioritas dalam tempat sebagai ruang mencerminkan interaksi kompleks antara manusia, pengalaman, dan konteks sosial. Pemikiran filosofis beberapa Filsuf di atas, membantu kita untuk memahami bahwa ruang bukan sekadar latar fisik, tetapi merupakan konstruksi sosial dan emosional yang memengaruhi eksistensi dan interaksi manusia. Mengkaji prioritas tempat dalam konteks filosofis ini membuka ruang untuk refleksi lebih dalam mengenai bagaimana kita membangun makna dan nilai dalam ruang yang kita huni.
Prioritas itu ialah Misi
Teologi misi menekankan panggilan umat manusia untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia, berdasarkan perintah Yesus Kristus yang dikenal dengan istilah “Amanat Agung” (Great Commission). Amanat Agung ini, secara biblis, tercantum dalam Injil Matius 28:18-20, sebagai landasan utama bagi kita untuk memahami misi sebagai prioritas. Dalam ayat tersebut, Yesus memberikan mandat kepada murid-murid-Nya untuk pergi, memberitakan Injil, dan membaptis semua bangsa.
Matius 28:18-20: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.
Misi menjadi prioritas karena merupakan perintah langsung dari Kristus. Ini menunjukkan bahwa penginjilan dan pembentukan murid merupakan inti dari kehidupan Gereja dan iman Katolik.
Secara teologis, misi sebagai prioritas tidak hanya berfungsi sebagai tindakan untuk memberitakan Injil, tetapi juga merupakan respons terhadap perintah Allah, ungkapan kasih, dan bagian dari identitas gereja. Dalam seluruh aspek kehidupan iman, misi mencerminkan tujuan Allah untuk menjangkau dunia dan memberikan keselamatan kepada semua bangsa. Melalui pengajaran Alkitab, umat Katolik diingatkan akan panggilan untuk berpartisipasi dalam misi ini, baik melalui doa, tindakan, maupun dukungan.
Misi itu ialah Pelayanan
Persaudaraan imami merupakan kesempatan dimana misi direnungkan sebagai tugas bersama. Melayani berarti bekerja sama. Dikatakan demikian karena praktek melayani mensyratkan yang lain. Melayani tanpa yang lain dan tidak kepada yang lain, merupakan praktek yang tidak lebih dari egoisme.
Matius 28:19-20 (Amanat Agung)
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Ayat di atas menjadi dasar utama dalam misi penginjilan dan pelayanan, di mana Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Dalam perutusan itu, para Murid dituntut untuk sungguh-sungguh memahami dan memperlakukan praktek pelayanan secara aktif dan bukan pasif. Pelayanan yang bercorak aktif atau partisipatif termakhtub dalam Teks Kitab Suci Marrkus 10:45 – Matius 20:28. Rumusan bunyinya demikian ; “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Dalam kedua ayat tersebut, Yesus menjelaskan bahwa tujuan kedatangan-Nya ke dunia bukan untuk mendapatkan pelayanan, tetapi untuk melayani dan bahkan mengorbankan diri-Nya demi keselamatan umat manusia. Ini menekankan kerendahan hati dan pengorbanan yang menjadi inti dari misi Yesus.
Demikian pula, tentang pelayanan, ditegaskan dalam 1 Petrus 4:10. Rumusannya demikian ;”Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”
Point dari 1 Petrus di atas ialah bahwa pelayanan tidak hanya mencakup penginjilan, tetapi juga melayani satu sama lain sesuai dengan karunia yang telah diberikan oleh Allah.
Intinya ialah ayat-ayat di atas ingin menegaskan bahwa misi pelayanan adalah panggilan bagi setiap orang percaya untuk memberitakan Injil, melayani sesama, dan menjalankan kehendak Tuhan di dunia.
Pelayanan Berlangsung dalam Semangat Persaudaraan
Secara kristologis, dasar bagi persaudaraan umat manusia ialah Kristus. Secara horizontal, dasar bagi persaudaraan antar sesama manusia ialah martabat. Secara pastoral, dasar bagi pelayanan ialah kasih. Secara trinitaris; Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus merupakan dasar utama dan model kasih bagi persaudaraan dan kasih manusia.
Pelayanan berlangsung dalam persaudaraan berarti dalam karya pelayanan, kenyataan dasariah bahwa manusia adalah makhluk bermartabat dan makhluk sosial, tidak dapat dan tidak boleh diabaikan. Karena martabat dan makhluk sosial merupakan kodratnya sejak diciptakan, maka tuntutan imperatif baginya ialah apabila ia tidak berasa saudara dalam melayani, maka dalam waktu yang sama, ia mengingkari statusnya.
Pelayanan yang berbasis persaudaraan; dalam Kitab Suci dikemukakan beberapa ayat, yang menekankan pentingnya hubungan persaudaraan dalam Kristus, kasih, dan pelayanan satu sama lain. Berikut beberapa dasar Kitab Suci yang relevan:
Galatia 6:2 “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”
Pelayanan yang terjadi dalam persaudaraan ditunjukkan melalui tolong-menolong, menanggung beban satu sama lain sebagai bagian dari ketaatan kepada Kristus. Di sini nampak corak solidaritas plus empati antar sesama dan bagi sesama. Pelayanan tanpat solidaritas akan terjerumus ke popularitas.
Teks 1 Yohanes di bawah ini juga memberi input bagi kita tentang pentingnya aksi nyata kepada saudara sebagai perwujudan iman.
1 Yohanes 3:16-18 “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
Dari ayat-ayat di atas, jelas bahwa pelayanan dalam persaudaraan didasari oleh semangat kasih, saling menolong, menggunakan karunia rohani, dan memelihara hubungan yang erat di dalam Kristus.
Persaudaraan Berlandaskan Kasih
Santo Paulus dalam 1 Korintus 13:8 mengatakan kepada kita bahwa nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap; tetapi kasih tidak akan berkesudahan. Pada teks yang lain, juga dikatakan bahwa …yang terbesar di antaranya ialah Kasih (1 Kor. 13:33). Dikatakan juga dalam Ibrani 13:1, yang berbunyi ; “Peliharalah kasih persaudaraan!”
Uraian tentang kasih, dasar lengkapnya kita temukan dalam teks Matius 22:37-40 yang dikenal sebagai teks bernas ketika berbicara tentang kasih. Teks ini memuat hukum cinta kasih yang menjadi dasar dari segala hukum Teologi Katolik.
Matius 22:37-40 Yesus berkata: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kasih kepada sesama manusia adalah bagian dari perintah utama Allah, yang menuntun relasi persaudaraan.
Sementara Teks 1 Yohanes 4:7-8 dan Teks Roma 12:10, memberi input kepada kita dengan menyebutkan Sumber Kasih yaitu Allah sekaligus membeberkan tuntutan teologis bagi kita bahwa mengasihi Allah berarti siap mengambil langkah untuk mencintai manusia.
1 Yohanes 4:7-8 ; “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”
Kasih menjadi ciri utama orang yang mengenal Allah, dan ini menjadi landasan bagi hubungan persaudaraan di antara orang percaya.
Roma 12:10 ; “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”
Ayat di atas mengajarkan agar dalam persaudaraan, kasih dan rasa hormat harus menjadi dasar interaksi antar sesama.
Secara khusus, perspektif kristologi, Teks Yohanes 13:34-35 menyebutkan perintah Yesus yang mensyaratkan kasih yang sempurna sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh DiriNya.
Yohanes 13:34-35 ; “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
Yesus menjadikan kasih sebagai tanda pengenal utama bagi murid-murid-Nya, yang akan membedakan mereka dari dunia.
Dari ayat-ayat tersebut, jelas bahwa persaudaraan yang berlandaskan kasih adalah perintah Allah dan merupakan cerminan dari kasih Allah sendiri kepada manusia. Kasih menjadi pengikat utama dalam hubungan persaudaraan di antara sesama orang percaya.
Kasih Berpuncak pada Pengorbanan
Pernyataan kasih berpuncak pada pengorbanan mengarahkan kita untuk segera berkonsentrasi pada Sosok Illahi Yesus Kristus. Bahwasannya, sebagai Gembala Utama, Ia telah menjadi teladan segala penjuru dengan menunjukkan pengorbananNya yang tidak bisa dan tidak dapat ada pada yang lain. Teladan seperti itulah, yang sesungguhnya telah menjadi dasar yang kuat bagi kiprah pastoral, di tengah perhelatan dunia, yang seringkali hadir dengan tawaran instant tanpa mau berkorban.
Teks Yohanes 3:16, dengan jelasnya mengatakan kepada kita : “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Demikian juga, point teologis yang sama, kita temukan dalam Teks Yohanes 15:13 ; “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”
Penegasan terhadap pengorbanan kasih Yesus, juga ditemukan dalam Teks 1 Yohanes 3:16, yang berbunyi ; “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”
Semua ayat di atas, jelas menggambarkan kasih Allah yang puncaknya adalah pengorbanan-Nya bagi manusia, terutama melalui Yesus Kristus.
Pengorbanan Menuntut Kerendahan Hati (Untuk Melakukannya)
Sebelum masuk pada apa kata Kitab Suci tentang kerendahan hati, terlebih dahulu kita ikuti; apa kata para Paus. Ada beberapa Paus, yang kiranya pikiran mereka dapat kita jadikan sebagai inspirasi.
Paus Leo XIII ; “Kerendahan hati harus menjadi dasar bagi setiap tindakan sosial, di mana kita harus memikirkan kebutuhan dan kesejahteraan orang lain.” (Ensiklik Rerum Novarum, No. 7).
Paus Yohanes Paulus II ; “Kerendahan hati adalah salah satu sikap fundamental yang diperlukan untuk menghidupi hubungan dengan Tuhan dan dengan sesama.” (Ensiklik Redemptor Hominis, No. 21).
Paus Benediktus XVI ; “Cinta mengandung kerendahan hati. Untuk mencintai dengan tulus, kita harus siap untuk menyingkirkan egoisme dan ambisi kita.” (Ensiklik Deus Caritas Est, No. 33).
Paus Benediktus XVI ; “Kerendahan hati adalah jalan menuju kebijaksanaan dan pengertian yang lebih dalam tentang diri kita dan hubungan kita dengan Tuhan.” (Homili Misa Kudus, 24 Februari 2008).
Paus Fransiskus ; Kerendahan hati adalah yang mengizinkan kita untuk menempatkan diri kita dalam posisi melayani, bukan dilayani.” (Seruan Apostolik Amoris Laetitia, No. 94).
Paus Fransiskus ; “Kita dipanggil untuk membangun hubungan yang tulus dan penuh kerendahan hati dengan orang lain, menjadikan kita lebih dekat dengan mereka dan dengan Allah.” (Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, No. 198)
Sementara Teks Filipi 2:5-8, mengangkat model kerendahan hati Yesus dengan menempatkan pernyataan Pengosongan Diri sebagai model paling utama. Pengosongan diri ini disebut kenosis. Bunyi teksnya demikian ; “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Dari pernyataan para Paus dan juga teks Kitab Suci, nampak bahwa kerendahan hati merupakan pintu bagi suksesnya karya pastoral, karena melalui sikap itu, terlaksana secara baik karya pastoral yang berlangsung melalui kenyataan saling mendengarkan, saling menerima satu sama lain dan saling mengerti satu sama lain tanpa mengzolimi dan saling mendiskreditkan.
Kerendahan Hati Berakar pada Keteladanan Bunda Maria
Bunda Maria disebut sebagai Tokoh Model bagi Gereja, tatkala sikap fiat-nya yang menyerahkan dirinya secara total kepada Allah ketika ia diperhadapkan dengan tawaran Allah Malaikat Gabriel kepada dirinya. Pasca pergumulan manusiawinya, akhirnya Bunda Maria mengatakan sikap imannya, yang nampak melalui pernyataan; Aku ini Hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut Perkataan-Mu (Luk. 1:38).
Kidung Magnificat dalam Lukas 1:46-55, menunjukkan kepada kita, betapa Allah berkenan kepada “kerendahan”. Jelas bahwa Allah adalah Sosok yang peduli kepada “yang kecil” yang terpresentasi melalui diri Bunda Maria.
Dikisahkan bahwa ketika Maria mengunjungi Elisabet dan menyanyikan Magnificat, dia memuji Allah dengan mengakui kebesaran-Nya dan merendahkan diri sebagai hamba-Nya. Dalam ayat ini, kita melihat kerendahan hati Maria yang dengan penuh sukacita mengakui bahwa Allah telah memperhatikan “kerendahan hati hamba-Nya”:
“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya…” (Lukas 1:46-48).
Pada teks lain, dikatakan bahwa Maria Menyimpan Segala Sesuatu dalam Hati. Setelah kelahiran Yesus dan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup-Nya, Maria tidak menonjolkan dirinya atau peran istimewanya sebagai ibu Yesus. Sebaliknya, dia dengan rendah hati menyimpan semua peristiwa itu dalam hatinya dan merenungkannya:
“Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Lukas 2:19). “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.” (Lukas 2:51).
Dari ayat-ayat di atas, kita bisa melihat bahwa kerendahan hati Maria tercermin dalam pengakuannya bahwa segala sesuatu datang dari Allah, dalam kesediaannya untuk melayani, dan dalam kesediaannya untuk menerima peran besar tanpa mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri. Keteladanan kerendahan hati Maria ini menjadi inspirasi bagi umat beriman dalam menghayati kehidupan yang rendah hati di hadapan Allah.
Kesaksian Bunda Maria dalam teks-teks di atas, menjadi catatan penting bagi kita dalam reksa pastoral. Bahwasannya; seringkali kita tergoda untuk mengidolatriakan potensi yang kita miliki dan menglorofikasi pengetahuan yang kita miliki. Akibatnya, kita menjadi single fighter, dan pada akhirnya merasa letih sendiri.
Kesetiaan Bunda Maria Hingga di Kaki Salib adalah Model dan Modal bagi Persaudaraan Sejati
Bunda Maria hingga di kaki salib. Kesetiaan ini sesungguhnya merupakan cara Allah untuk mengingatkan kita tentang bagaimana kita menghadapi tantangan yang kita temui dalam karya pastoral. Sekalipun penderitaan itu memang menyakitkan, tetapi kesetian Bunda Maria adalah model bagi kita untuk membangun persaudaraan; yang tidak hanya bersaudara ketika dalam suasana sukacita, tetapi juga harus berani mengambil langkah bersaudara dalam suasana tragis, sekalipun.
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas, dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di samping-Nya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah anakmu!’ Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.” (Yohanes 19:25-27).
Dalam konteks teks di atas, Maria digambarkan sebagai teladan kesetiaan dan cinta yang tak tergoyahkan. Di tengah penderitaan Yesus, Bunda Maria tetap mendampingi-Nya, menunjukkan keteguhan hati seorang ibu dan murid yang setia. Kesetiaan Bunda Maria ini mengajarkan dua hal penting yang menjadi model bagi persaudaraan sejati:
Yang pertama : Cinta tanpa Syarat
Maria menunjukkan cinta yang tulus, tidak hanya kepada Yesus, tetapi juga kepada sesama yang diwakili oleh murid yang dikasihi, Yohanes. Melalui penyerahan Maria kepada Yohanes dan Yohanes kepada Maria, Yesus membangun sebuah relasi persaudaraan yang dilandasi oleh cinta dan kepedulian.
Yang Kedua : Pengorbanan demi Persaudaraan
Bunda Maria menampilkan pengorbanan sebagai bentuk cinta yang sejati. Ia rela menyerahkan segala duka dan penderitaannya demi kasih yang lebih besar. Pengorbanan ini menjadi modal dalam menjalin persaudaraan yang kuat dan mendalam.
Kesetiaan Bunda Maria hingga di kaki salib tidak hanya menjadi teladan iman dan kesetiaan, tetapi juga menjadi fondasi bagi relasi persaudaraan di antara pengikut Kristus. Dengan mengikuti contoh kesetiaan dan pengorbanannya, umat Kristiani dapat membangun persaudaraan yang berdasarkan cinta, kesetiaan, dan pengorbanan satu sama lain.
Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr (Alumni OGF Unio Regio Nusra, Oktober 2024 – asal Keuskupan Atambua)