Banalitas dan Overprioritasi: Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak Penting

- Penulis

Sabtu, 21 Desember 2024 - 06:26 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

OPINILopoNTT.comBanalitas dan Overprioritasi: Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak PentingYudel Neno, Pr

Pendahuluan

Dalam dinamika sosial dan politik, banalitas dan overprioritasi seringkali menjadi alat yang tidak disadari untuk mempertahankan status quo. Banalitas mencerminkan pengabaian terhadap makna moral, sementara overprioritasi memicu perhatian berlebihan terhadap hal-hal yang tidak esensial. Fenomena ini menciptakan situasi di mana kesalahan dianggap biasa, sementara yang tidak penting justru mendominasi wacana publik.

Banalitas dalam Konteks Sosial

Banalitas merujuk pada hilangnya sensitivitas moral terhadap apa yang benar dan salah. Konsep ini dipopulerkan oleh Hannah Arendt dalam teorinya tentang “Banalitas Kejahatan.” Arendt menekankan bahwa tindakan kejahatan tidak selalu dilakukan oleh individu yang jahat secara moral, melainkan oleh mereka yang terjebak dalam rutinitas birokrasi dan kehilangan daya kritis. Dalam masyarakat modern, pembenaran terhadap kesalahan seringkali muncul dari ketidakpedulian yang terstruktur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Overprioritasi dalam Pengambilan Keputusan

Overprioritasi terjadi ketika perhatian publik atau kebijakan pemerintah terpusat pada isu-isu yang kurang penting, sementara masalah krusial diabaikan. Dalam teori manajemen prioritas, ini disebut sebagai “bias perhatian (Attention Bias),” di mana isu yang terlihat mendesak tetapi tidak signifikan mendapatkan perhatian lebih besar. Dampaknya adalah pengalihan sumber daya dan energi ke arah yang tidak produktif.

Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak Penting

Ketika banalitas bertemu dengan overprioritasi, muncul kecenderungan untuk menjustifikasi yang salah dan mengurgenkan yang tak penting. Ini terjadi ketika kesalahan dianggap biasa sehingga tidak lagi dipermasalahkan, sementara isu-isu kecil dibesar-besarkan (gelembung isu – issue bubble) demi keuntungan politik, ekonomi, atau sosial. Misalnya, pengalihan isu dalam politik seringkali dilakukan dengan menciptakan krisis artifisial untuk menutupi skandal yang lebih besar.

Implikasi Teoretis

Dalam perspektif teoretis murni, fenomena banalitas dan overprioritasi bisa dijelaskan melalui teori sistem sosial oleh Niklas Luhmann. Luhmann berpendapat bahwa masyarakat modern terdiri dari sistem-sistem yang saling beroperasi berdasarkan logika masing-masing. Ketika sistem komunikasi sosial memprioritaskan yang tidak penting, masyarakat akan cenderung memaklumi kesalahan yang berulang. Ini juga terkait dengan teori kognitif tentang bias ketersediaan (availability heuristic), di mana informasi yang mudah diakses (ataupun yang sudah biasa diakses) dianggap lebih penting (membuat generalisasi) meskipun sebenarnya tidak relevan.

Kesimpulan

Banalitas dan overprioritasi menciptakan siklus yang merusak tata nilai dalam masyarakat. Pembenaran terhadap kesalahan menjadi lazim, sementara perhatian kolektif dialihkan ke masalah yang tidak substansial. Dalam konteks ini, teori-teori sosial dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa pembenahan harus dimulai dari kesadaran kritis dan rekonstruksi prioritas sosial yang lebih sehat dan adil.

 

Facebook Comments Box

Penulis : Yudel Neno, Pr

Editor : Tim

Berita Terkait

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik
Membongkar Agenda Setting dan Ekologi Media di Era Viral: Kritik dan Landasan Biblis untuk Kebenaran Publik
Bahasa sebagai Kekuasaan Simbolik: Antara Dominasi Sosial Pierre Bourdieu dan Transformasi Spiritualitas dalam Perumpamaan Yesus
Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir
Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya
Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan
Makna Hidup di Era Algoritma
Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Berita ini 58 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 11 Januari 2025 - 09:27 WITA

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

Sabtu, 21 Desember 2024 - 06:26 WITA

Banalitas dan Overprioritasi: Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak Penting

Jumat, 20 Desember 2024 - 06:02 WITA

Bahasa sebagai Kekuasaan Simbolik: Antara Dominasi Sosial Pierre Bourdieu dan Transformasi Spiritualitas dalam Perumpamaan Yesus

Rabu, 30 Oktober 2024 - 08:47 WITA

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir

Selasa, 22 Oktober 2024 - 20:24 WITA

Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya

Berita Terbaru

Kitab Suci

Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis Ciptaan

Selasa, 14 Jan 2025 - 13:45 WITA

Opini

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

Sabtu, 11 Jan 2025 - 09:27 WITA