Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

- Penulis

Sabtu, 11 Januari 2025 - 09:27 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

LopoNTT.comOPINIKegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik Rm. Yudel Neno, Pr

Pendahuluan

Tulisan ini berjudul Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik, yang membahas bagaimana algoritma digital, khususnya dalam platform seperti Meta, telah berkembang menjadi instrumen kekuasaan yang memengaruhi perilaku individu dan tatanan sosial.

Algoritma pada dunia digital tidak hanya berfungsi ebagai alat teknis, tetapi juga menjadi mekanisme kontrol yang menciptakan pola interaksi digital yang didominasi oleh obsesi terhadap validasi kuantitatif, seperti likes, followers, dan views (metrik kuantitatif digital).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tulisan ini berusaha mengkritisi dampak dari kontrol algoritmik dengan menggunakan landasan filosofis dan ajaran Gereja Katolik.

Melalui kerangka pemikiran para Filsuf seperti Michel Foucault, Shoshana Zuboff, Karl Marx, dan Hannah Arendt, tulisan ini mengungkapkan bagaimana algoritma membentuk perilaku dan menciptakan kegilaan modern berupa alienasi, eksploitasi, dan absurditas dalam dunia digital. Tulisan ini juga menyoroti kegagalan algoritma dalam mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan dampaknya terhadap martabat manusia. Dalam perspektif Katolik, media sosial semestinya menjadi sarana untuk membangun solidaritas dan menyebarkan kasih, bukan menjadi alat manipulasi dan eksploitasi.

Sebagai penutup, tulisan ini memberikan pandangan kritis terhadap transformasi digital yang mengabaikan prinsip etika, serta mengajak pembaca untuk melihat pentingnya regulasi teknologi dan penerapan nilai-nilai moral dalam dunia digital. Dengan landasan teologis dan filosofi mendalam, tulisan ini berupaya menjadi refleksi sekaligus seruan untuk mengembalikan kontrol algoritmik kepada pelayanan yang mendukung martabat manusia.

Konsep Kegilaan menurut Foucault dalam Era Digital

Michel Foucault, dalam Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (Kegilaan dan Peradaban: Sejarah Kegilaan di Zaman Nalar), mendefinisikan kegilaan sebagai konstruksi sosial yang diatur oleh kekuasaan untuk membedakan “waras” dan “tidak waras.” Dalam era digital, konsep kekuasaan ini mengalami transformasi.

Algoritma Meta menciptakan kekuasaan terselubung yang mendorong perilaku obsesif terhadap validasi digital melalui likes, followers, dan views (metrik kuantitatif). Norma baru berupa kekuasaan terselubung mengubah metrik kuantitatif menjadi standar “kewarasan” digital, di mana absurditas sosial dianggap wajar selama memenuhi ekspektasi algoritmik.

Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan modern tidak hanya menghukum tetapi juga mendisiplinkan individu untuk mematuhi norma. Dalam konteks Meta, kekuasaan algoritmik memaksa individu menciptakan konten yang sesuai dengan logika pasar digital. Obsesi terhadap validasi nominal meta algoritmik membuat individu teralienasi dari kehidupan autentik mereka, menjadikan kegilaan digital sebagai konsekuensi logis dari subordinasi terhadap kekuasaan algoritmik.

Kegilaan sebagai Konstruksi Kekuasaan Algoritma Meta

Algoritma Meta mencerminkan konsep “panopticon” Foucault, di mana individu merasa diawasi dan mematuhi norma tanpa paksaan langsung. Namun, kekuasaan algoritmik melampaui pengawasan; ia memanipulasi perilaku dengan memberikan insentif seperti popularitas dan monetisasi konten. Hal ini membuat individu tunduk pada logika angka-angka digital, menciptakan kegilaan modern yang membingungkan batas antara kebebasan dan subordinasi.

Meta dan Algoritma dalam Konstruksi Digital

Meta menggunakan algoritma untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, sebagaimana dijelaskan oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (Zaman Kapitalisme Pengawasan). Dalam kapitalisme data, pengguna menjadi produk, di mana data mereka diperdagangkan untuk keuntungan komersial. Algoritma mendorong konten yang sering kali tidak autentik untuk memenuhi standar algoritmik, menciptakan kompetisi dangkal yang mengorbankan nilai-nilai manusiawi.

Kapitalisme Data dan “Kegilaan” Modern

Kapitalisme data, sebagaimana dijelaskan Zuboff, mendorong perilaku manusia untuk mendukung kepentingan korporasi. Dalam konteks Meta, algoritma menentukan apa yang dilihat dan diproduksi pengguna, menjadikan mereka “pekerja algoritmik” yang terus mengejar perhatian digital demi likes dan views. Kegilaan modern ini tidak lagi menyimpang dari norma sosial tetapi menjadi bagian integral dari budaya algoritmik yang didorong oleh kapitalisme data.

Absurditas dalam Interaksi Digital

Dalam Filsafat Eksistensialis, absurditas adalah benturan antara pencarian manusia akan makna dan ketidakpedulian sistem terhadap kebutuhan mereka. Dalam era digital, absurditas terlihat ketika individu mengorbankan privasi, waktu, dan nilai-nilai intrinsik demi eksistensi virtual yang diatur algoritma. Konten viral yang mengeksploitasi tragedi atau privasi menunjukkan bagaimana nilai autentik dikorbankan demi popularitas digital, mencerminkan kegagalan algoritma dalam memberikan makna sejati bagi penggunanya.

Kritik terhadap Pekerja Algoritmik dalam Perspektif Absurditas Camus

Dalam Mitos Sisyphus, Albert Camus menggambarkan absurditas melalui kisah Sisyphus, yang dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak gunung hanya untuk melihatnya kembali jatuh, berulang kali tanpa akhir. Kisah ini relevan dengan kondisi “pekerja algoritmik” dalam era digital, di mana individu terus menciptakan konten demi memenuhi tuntutan algoritma tanpa pernah mencapai kepuasan atau makna sejati. Validasi kuantitatif seperti likes, views, dan followers menjadi “batu besar” yang harus terus mereka dorong, sementara sistem algoritmik memastikan bahwa pekerjaan ini tidak pernah selesai. Dalam absurditas ini, manusia menjadi terjebak dalam siklus tak bermakna, di mana kebahagiaan dan nilai autentik dikorbankan demi popularitas yang fana.

Camus menyoroti bahwa absurditas lahir dari benturan antara pencarian makna manusia dan ketidakpedulian alam semesta. Dalam konteks digital, absurditas terjadi ketika algoritma yang tidak peduli pada kebutuhan manusia justru mengontrol perilaku mereka. Pekerja algoritmik, seperti Sisyphus, mungkin tampak memiliki kebebasan untuk memilih, tetapi sesungguhnya mereka dikendalikan oleh sistem yang memanfaatkan data dan perhatian mereka untuk keuntungan kapitalistik. Untuk melampaui absurditas ini, sebagaimana refleksi Camus, individu perlu mengakui absurditas tersebut dan menolak tunduk pada logika algoritma yang membatasi kebebasan. Hanya dengan demikian mereka dapat merebut kembali makna autentik dalam kehidupan digital mereka.

Objektifikasi dan Eksploitasi dalam Era Digital

Meta, melalui algoritma, mendorong eksploitasi privasi dan martabat manusia untuk memenuhi tuntutan algoritmik. Fenomena seperti konten candid tanpa izin atau eksploitasi tragedi menunjukkan bahwa algoritma mendorong pengguna untuk memanfaatkan orang lain demi perhatian digital. Dalam kerangka Foucault, eksploitasi ini adalah bentuk kontrol modern yang diatur oleh norma kapitalistik untuk menguntungkan institusi, bukan individu.

Konten candid artinya jenis konten yang biasanya berbentuk foto atau video yang diambil secara spontan tanpa persiapan atau pose yang disengaja dari subjek

Pemikiran Karl Marx tentang Nilai Jual dan Nilai Guna dalam Algoritma Meta

Karl Marx membedakan nilai guna (use value) sebagai manfaat langsung dan nilai jual (exchange value) sebagai nilai pasar. Dalam konteks Meta, perhatian pengguna menjadi komoditas dengan nilai jual, di mana algoritma memprioritaskan keterlibatan daripada manfaat nyata. Akibatnya, individu teralienasi sebagai “pekerja digital” yang memproduksi data demi keuntungan kapitalis tanpa kendali atas hasilnya.

Alienasi Digital dan Kehilangan Identitas

Karl Marx menjelaskan alienasi sebagai kondisi di mana individu kehilangan kendali atas aspek-aspek penting dari keberadaan mereka. Dalam era digital, kapitalisme data mengubah informasi pribadi menjadi komoditas yang diperdagangkan tanpa kendali individu. Proses ini menciptakan keterasingan baru, di mana pengguna kehilangan otonomi atas privasi dan identitas mereka.

Identitas individu sering dibentuk oleh data yang dimanipulasi oleh algoritma, menciptakan profil digital yang tidak selalu mencerminkan realitas. Seperti dalam kritik Marx terhadap kapitalisme, kapitalisme data memisahkan individu dari produk mereka sendiri—dalam hal ini, data mereka—menciptakan keterasingan baru yang melibatkan privasi, kontrol, dan eksistensi digital.

Validasi Kuantitatif dan Kegilaan Modern dalam Dunia Digital

Validasi kuantitatif, seperti likes, followers, dan views, telah menjadi indikator utama eksistensi dan nilai individu dalam dunia digital. Fenomena ini menciptakan standar baru yang tidak hanya bersifat artifisial, tetapi juga sering kali merusak esensi relasi manusia yang sejati. Fokus berlebihan pada metrik kuantitatif membuat manusia mengorbankan nilai-nilai autentik, seperti kejujuran, integritas, dan martabat, demi memenuhi ekspektasi algoritmik yang memprioritaskan popularitas.

Validasi algoritmik tidak mencerminkan kualitas sejati manusia, melainkan mengarahkan individu pada obsesi akan pengakuan digital yang dangkal.

Kegilaan modern yang lahir dari validasi kuantitatif menciptakan alienasi dan eksploitasi dalam dunia digital. Alienasi terjadi ketika individu kehilangan kendali atas identitas dan nilai intrinsik mereka, menjadi subjek dari logika algoritmik yang mengarahkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan pasar data.

Dalam proses alienasi, manusia tereksploitasi sebagai sumber data dan perhatian, di mana platform digital menggunakan data mereka untuk keuntungan komersial tanpa transparansi atau kendali yang adil. Fenomena validasi metrik kuantitatif menciptakan absurditas di mana individu mengorbankan otonomi dan waktu untuk validasi semu yang tidak memberikan makna sejati.

Kritik terhadap perilaku algoritmik menegaskan perlunya refleksi mendalam terhadap dampak budaya digital yang didorong oleh metrik kuantitatif. Teknologi seharusnya melayani manusia, bukan menjadikan mereka komoditas dalam kapitalisme data.

Pendekatan yang lebih etis dalam desain platform digital diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Hanya dengan demikian dunia digital dapat menjadi ruang yang membangun solidaritas, mempromosikan martabat manusia, dan menghadirkan makna yang sejati dalam interaksi manusia.

Logika Algoritma Meta dan Tantangan Etis

Algoritma Meta didasarkan pada logika efisiensi, profitabilitas, dan keberulangan, tetapi mengabaikan pertimbangan etis. Efisiensi sering mengorbankan privasi, profitabilitas memprioritaskan keterlibatan di atas kesejahteraan, dan keberulangan memperkuat bias algoritmik. Akibatnya, muncul kebutuhan akan regulasi dan transparansi dalam desain algoritma untuk memastikan teknologi melayani manusia secara utuh.

Banalitas Etis dalam Algoritma Meta

Hannah Arendt menunjukkan bahwa “banalitas kejahatan” terjadi ketika tindakan dilakukan tanpa pertimbangan etis, hanya karena mengikuti aturan. Dalam konteks Meta, algoritma beroperasi dengan banalitas etis, di mana keputusan mereka yang memengaruhi tatanan sosial dianggap netral karena didasarkan pada sistem yang dirancang manusia. Arendt mengingatkan bahwa tanggung jawab moral tetap ada pada manusia yang menciptakan dan mengelola algoritma tersebut.

Kritik terhadap Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik dalam Perspektif Katolik

Dalam pandangan Gereja Katolik, media sosial seharusnya menjadi sarana untuk membangun komunitas, memperkuat solidaritas, dan menyebarkan nilai-nilai kasih. Namun, kegilaan digital yang diciptakan oleh algoritma Meta, yang berfokus pada validasi kuantitatif seperti likes, views, dan followers, telah menciptakan kontrol algoritmik yang merusak martabat manusia.

Obsesi terhadap angka-angka digital nyatanya telah mendorong perilaku dangkal dan konsumtif, di mana popularitas sering kali lebih diutamakan daripada kebenaran atau nilai-nilai etis.

Terhadap fakta degradasi di atas, Gereja tampil menekankan bahwa media sosial tidak boleh menjadi arena untuk memupuk narsisme atau kompetisi yang tidak sehat, melainkan ruang untuk menghadirkan kasih yang otentik dan relasi yang membangun.

Pengabaian etiket digital dalam kegilaan algoritmik makin memperparah disinformasi, eksploitasi privasi, dan alienasi manusia. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan sering kali memprioritaskan konten sensasional atau memecah belah, tanpa memedulikan dampak negatifnya terhadap komunitas.

Gereja Katolik mengingatkan bahwa setiap tindakan, termasuk di dunia digital, harus mencerminkan panggilan moral untuk menjaga keadilan, kejujuran, dan kasih sayang (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, art. 415). Dalam kontrol algoritmik, manusia semakin teralienasi dari otonomi pribadinya, di mana mereka lebih sering menjadi objek manipulasi daripada subjek yang bertindak bebas dan bertanggung jawab.

Sebagai tanggapan, Gereja mengajak umat untuk bersikap bijaksana dan kritis terhadap teknologi digital serta tidak terjebak dalam kegilaan algoritmik yang menekankan validasi kuantitatif. Teknologi, termasuk algoritma, harus digunakan secara etis untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan untuk mengeksploitasi atau mengendalikan individu.

Dalam dunia yang semakin didominasi oleh kontrol algoritmik, Gereja mengingatkan pentingnya menjadikan media sosial sebagai alat evangelisasi dan promosi martabat manusia, di mana setiap interaksi digital harus mencerminkan kasih Kristus dan tanggung jawab moral kita sebagai pengikut-Nya.

Kesimpulan

Kegilaan digital yang lahir dari kontrol algoritmik telah mengubah cara manusia berinteraksi, berpikir, dan memahami dirinya dalam era digital.

Algoritma, seperti yang diterapkan oleh Meta, bukan lagi sekadar alat teknis, melainkan instrumen kekuasaan yang membentuk perilaku sosial dan individual melalui validasi kuantitatif dan manipulasi perilaku.

Obsesi terhadap metrik digital, seperti likes dan followers, menunjukkan bagaimana manusia semakin teralienasi dari kehidupan autentik, tunduk pada logika pasar digital yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

Kritik dari pemikiran Foucault, Marx, Zuboff, dan Arendt menunjukkan bahwa algoritma tidak netral secara moral. Ia memiliki kekuatan untuk mendisiplinkan, mengeksploitasi, dan memanipulasi individu, sering kali mengorbankan privasi dan martabat manusia.

Dalam kegilaan digital, absurditas dan eksploitasi menjadi ciri khas interaksi digital, yang menjadikan manusia bukan hanya sebagai pengguna tetapi juga produk dalam kapitalisme data.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan etis yang lebih mendalam dalam desain dan penggunaan algoritma, seperti yang ditekankan dalam ajaran Gereja Katolik. Bahwasannya; media sosial harus menjadi ruang yang mendukung solidaritas dan martabat manusia, bukan arena untuk narsisme dan eksploitasi.

Dalam dunia yang didominasi kontrol algoritmik, teknologi harus diarahkan untuk melayani manusia secara utuh, mencerminkan kasih, kebenaran, dan tanggung jawab moral, sehingga dapat menciptakan masyarakat digital yang lebih adil dan manusiawi.

Sumber Referensi : 

Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason (Kegilaan dan Peradaban: Sejarah Kegilaan di Zaman Nalar), Pantheon Books, 1965.

Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (Eichmann di Yerusalem: Sebuah Laporan tentang Banalitas Kejahatan), Viking Press, 1963.

Karl Marx, Capital: Critique of Political Economy (Modal: Kritik atas Ekonomi Politik), Progress Publishers, 1867.

Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (Kapitalisme Pengawasan: Perjuangan untuk Masa Depan Manusia di Perbatasan Baru Kekuasaan), PublicAffairs, 2019.

Albert Camus, The Myth of Sisyphus (Mitos Sisyphus), Hamish Hamilton, 1942.

Facebook Comments Box

Penulis : Yudel Neno

Editor : Tim

Sumber Berita : Pikiran Filsuf pada Sumber Buku

Berita Terkait

Membongkar Agenda Setting dan Ekologi Media di Era Viral: Kritik dan Landasan Biblis untuk Kebenaran Publik
Banalitas dan Overprioritasi: Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak Penting
Bahasa sebagai Kekuasaan Simbolik: Antara Dominasi Sosial Pierre Bourdieu dan Transformasi Spiritualitas dalam Perumpamaan Yesus
Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir
Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya
Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan
Makna Hidup di Era Algoritma
Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Berita ini 56 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 11 Januari 2025 - 09:27 WITA

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

Sabtu, 21 Desember 2024 - 06:26 WITA

Banalitas dan Overprioritasi: Menjustifikasi yang Salah dan Mengurgenkan yang Tak Penting

Jumat, 20 Desember 2024 - 06:02 WITA

Bahasa sebagai Kekuasaan Simbolik: Antara Dominasi Sosial Pierre Bourdieu dan Transformasi Spiritualitas dalam Perumpamaan Yesus

Rabu, 30 Oktober 2024 - 08:47 WITA

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir

Selasa, 22 Oktober 2024 - 20:24 WITA

Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya

Berita Terbaru

Kitab Suci

Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis Ciptaan

Selasa, 14 Jan 2025 - 13:45 WITA

Opini

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

Sabtu, 11 Jan 2025 - 09:27 WITA