Ekoteologi dan Bumi sebagai Rumah Bersama (our common home) : Membangun Kesadaran Iman untuk Merawat Ciptaan

- Penulis

Selasa, 25 Februari 2025 - 18:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Refleksi EkologisLopoNTT.comEkoteologi dan Bumi sebagai Rumah Bersama (our common home) : Membangun Kesadaran Iman untuk Merawat CiptaanYudel Neno, Pr

Ekoteologi adalah cabang teologi yang membahas hubungan antara iman, Tuhan, dan lingkungan hidup. Istilah ini berasal dari gabungan kata “eko” (ekologi) dan “teologi” (ilmu tentang Tuhan), sehingga ekoteologi berfokus pada bagaimana ajaran agama, terutama dalam tradisi Kristen, dapat memberikan perspektif dan solusi terhadap masalah lingkungan.

Ekoteologi mengajak kita untuk melihat alam sebagai ciptaan Tuhan yang penuh anugerah dan keindahan. Konsep ini menuntut kesadaran iman yang mendalam dalam merawat lingkungan hidup sebagai bentuk ibadah. Saya percaya bahwa pemahaman tentang ekoteologi dapat merubah pandangan manusia terhadap alam. Dengan demikian, kita dihadapkan pada tanggung jawab untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam pandangan ekoteologi, alam dipandang tidak hanya sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi, tetapi sebagai warisan ilahi yang harus dihargai. Tanggung jawab manusia sebagai Imago Dei (Gambar Allah) menuntut kebijaksanaan dalam mengelola bumi. Kesadaran iman menjadi landasan untuk melawan praktik-praktik eksploitatif yang merusak lingkungan. Dengan demikian, ekoteologi mengajak setiap individu untuk menyatu dengan ciptaan Tuhan.

Saya meyakini bahwa setiap tindakan yang merusak alam adalah suatu bentuk dosa ekologis. Dosa ekologis merupakan pelanggaran terhadap perintah Tuhan untuk menjaga ciptaan-Nya. Konsep ini menantang kita untuk mempertanyakan kebiasaan konsumtif yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, kesadaran akan dosa ekologis menjadi panggilan moral bagi umat beriman.

Spiritualitas ekologis mengandung esensi bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan tidak terlepas dari hubungan dengan alam. Dalam kehidupan sehari-hari, iman harus diwujudkan melalui sikap hormat dan perhatian terhadap lingkungan. Setiap langkah kecil dalam menjaga kebersihan dan kelestarian alam merupakan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, spiritualitas ekologis memperkuat keterikatan batin manusia terhadap bumi.

Pembaruan ciptaan dalam konteks eskatologi mengajarkan bahwa keselamatan tidak hanya berlaku bagi manusia, melainkan bagi seluruh ciptaan. Harapan akan penyelamatan bersama mendorong umat beriman untuk turut serta dalam upaya perbaikan lingkungan. Setiap tindakan pelestarian alam merupakan bagian dari iman yang hidup. Maka, pemahaman tentang pembaruan ciptaan menjadi kunci dalam gerakan ekoteologi.

Pandangan ekoteologi menempatkan bumi sebagai rumah bersama yang harus dipertahankan untuk generasi mendatang. Konsep “our common home” menyiratkan bahwa setiap manusia memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kesadaran kolektif ini menguatkan tekad untuk melawan kerusakan lingkungan yang semakin merajalela. Dengan demikian, bumi sebagai rumah bersama menjadi landasan etika dalam berinteraksi dengan alam.

Ajaran teologi ramah lingkungan memberikan inspirasi dalam menjalani kehidupan yang lebih harmonis dengan alam. Buku “Teologi Ramah Lingkungan, Sekilas tentang Ekoteologi Kristiani” karya AI. Purwa Hadiwardoyo, MSF, terbitan Kanisius (2015), menyajikan wawasan mendalam mengenai hubungan iman dan lingkungan. Inspirasi tersebut menguatkan keyakinan bahwa keimanan harus disertai dengan tindakan nyata untuk merawat bumi.

Purwa Hadiwardoyo, melalui bukunya, menghadirkan kepada kita prinsip utama dalam ekoteologi. Menarik bahwa, dalam buku ini, Penulis dengan jelas dalam uraian memperlihatkan aspek Trinitaris dalam penciptaan, di mana penciptaan terjadi dalam Persekutuan Trinitaris, dan karena itu, upaya menjaga, merawat dan melestarikan alam, sesungguhnya merupakan suatu upaya bersama, dan bertentangan dengan aspek Trinitaris, apabila dilakukan secara sendirian.

Sebagai penjabaran dari konsep Trinitaris dalam penciptaan, Penulis menemukan beberapa point penting, di bawah ini :

Yang pertama : Penciptaan sebagai Anugerah Tuhan – Alam dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihargai dan dijaga, bukan sekadar sumber eksploitasi.

Yang kedua : Tanggung Jawab Manusia (Imago Dei) – Manusia sebagai Gambar Allah (Kejadian 1:26-28) diberi mandat untuk merawat dan mengelola bumi dengan bijaksana, bukan untuk mengeksploitasinya secara serakah.

Yang ketiga : Dosa Ekologis – Sikap merusak lingkungan dapat dianggap sebagai dosa karena melawan kehendak Tuhan dalam menjaga ciptaan-Nya.

Yang keempat : Spiritualitas Ekologis – Hubungan manusia dengan Tuhan harus mencakup sikap hormat terhadap alam dan keseimbangan ekosistem.

Yang kelima : Pembaruan dan Keselamatan Ciptaan – Dalam perspektif eskatologi, bukan hanya manusia yang mengalami penyelamatan, tetapi juga seluruh ciptaan (Roma 8:19-22).

Kehadiran ekoteologi dalam konteks kekinian menjadi relevan untuk menjawab tantangan krisis lingkungan global. Tantangan tersebut mencakup perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam situasi demikian, iman sebagai pendorong aksi menjadi sangat krusial. Maka, ekoteologi menawarkan solusi spiritual dan praktis untuk menghadapi permasalahan lingkungan.

Saya percaya bahwa Gereja memiliki peran penting dalam menyebarkan kesadaran ekoteologi. Melalui kegiatan pastoral di lingkungan, Gereja dapat menjadi agen perubahan. Inisiatif seperti reboisasi dan penggunaan energi terbarukan merupakan wujud nyata dari tanggung jawab iman. Dengan demikian, peran Gereja semakin signifikan dalam upaya menjaga bumi sebagai rumah bersama.

Sebagai upaya maksimal, pendidikan ekoteologi di kalangan umat harus ditingkatkan agar setiap individu dapat memahami makna mendalam dari iman yang menyatu dengan alam. Edukasi ini tidak hanya menekankan aspek spiritual, tetapi juga etika lingkungan (bioetika).

Upaya itu pun perlu melibatkan generasi muda. Pelibatan generasi muda dalam ekoteologi, membuka ruang pembelajaran bagi mereka, yang bersifat inovatif, baha kelak mereka akan menuai hasil baik yang telah mereka tabur dengan saksama. Dengan demikian, pendidikan ekoteologi menjadi investasi bagi masa depan bumi.

Upaya perawatan terhadap lingkungan pun perlu nyata melalui sikap kritis dan kreatif terhadap praktik-praktik industri yang merusak alam. Sikap kritis dan kreatif itu, supaya berdaya tahan, maka harus dilandasi oleh kesadaran iman yang tinggi. Iman mengajarkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai yang setara di hadapan Tuhan. Praktik eksploitasi berlebihan mencederai prinsip keadilan ekologis yang seharusnya dijunjung tinggi. Oleh karena itu, perubahan paradigma dalam dunia industri perlu didorong oleh nilai-nilai ekoteologi.

Fakta menunjukkan kepada kita bahwa kemajuan teknologi dan industrialisasi, justru banyak kali menciptakan momok eksploitatif karena kemudahan dan kecepatan semu yang ditawarkan oleh berbagai peralatan itu.

Pointnya ialah di tengah kemajuan teknologi dan industrialisasi, kita harus mampu menyeimbangkan antara kemajuan dan kelestarian lingkungan. Teknologi dapat menjadi alat yang membantu pengelolaan alam dengan lebih efisien jika diiringi dengan etika yang benar. Iman memberikan panduan moral dalam menggunakan teknologi demi kebaikan bersama. Dengan demikian, kemajuan harus selalu sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis.

Berbagai upaya harus terus dilakukan…dan karena upaya itu, seringkali berhadapan dengan konspirasi eksploitatif, maka partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan, tidak dapat dan sama sekali tidak boleh diabaikan. Pengabaian masyarakat ataupun masyarakat mengabaikan dirinya sendiri, sesungguhnya merupakan suatu gangguan serius, yang bertentangan dengan sinodalitas iman. Karena itu, partisipasi aktif masyarakat seharusnya dimaksimalkan demi terciptanya lingkungan yang sehat dan lestari. Setiap tindakan kecil dari individu memiliki dampak yang besar bila dilakukan bersama-sama. Maka, ekoteologi menginspirasi kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga bumi.

Dalam menghadapi tantangan global, kerjasama lintas sektor menjadi kunci untuk melindungi lingkungan hidup. Kerjasama ini melibatkan pemerintah, masyarakat, dan lembaga keagamaan yang memiliki peran strategis. Dialog dan kolaborasi antar pemangku kepentingan memperkuat upaya pelestarian bumi. Dengan demikian, ekoteologi menjadi jembatan untuk menghubungkan berbagai elemen masyarakat dalam satu tujuan.

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi yang lahir dari inspirasi mendalam terhadap ajaran ekoteologi. Kesadaran iman yang mengakar dalam kehidupan spiritual mengajak kita untuk lebih menghargai dan merawat alam. Saya berharap bahwa semangat ekoteologi dapat menyebar luas dan menginspirasi perubahan positif. Dengan iman yang kokoh, bumi sebagai rumah bersama akan tetap lestari bagi generasi mendatang.

Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr.

Facebook Comments Box

Penulis : RD. Yudel Neno

Editor : Tim

Sumber Berita : Laudato Si, Laudato Deum, Buku Purwa Hadiwardoyo

Berita ini 25 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 25 Februari 2025 - 18:49 WITA

Ekoteologi dan Bumi sebagai Rumah Bersama (our common home) : Membangun Kesadaran Iman untuk Merawat Ciptaan

Berita Terbaru

Opini

Peran Kaum Muda dalam Melawan Hoaks

Sabtu, 8 Mar 2025 - 02:59 WITA

Filsafat

Kecemburuan Kekuasaan: Antara Tragedi dan Komedi

Sabtu, 1 Feb 2025 - 10:45 WITA