OPINI, RD. Yudel Neno, Politik di Persimpangan Konotasi Negatif dan Sangkalannya, – Sebutan politik banyak kali berkonotasi negatif. Politik disamakan dengan praktek tipu-menipu. Anggapan seperti ini merajalale dalam cara berpikir masyarakat bahkan merasuk pula ke dalam cara berpikir kaum cendekiawan.
Ada anekdot yang beredar via WA dan FB. Dikisahkan; suatu ketika seorang anak kecil meminta makan pada ibunya waktu tengah malam. Terhadap permintaan si anak, ibu itu merespon dengan sikap marah-marah. Dikatakannya ; apa sebab, ditawari makan pada jam makan malam, tidak diindahkan. Spontan, jawab anak itu ; Saya cuman mau “politik” mama.
Anekdot di atas, sengaja diambil untuk maksud memberikan catatan penting bahwa apabila sejak kecil, di dalam cara berpikir seorang anak, sudah tertanam konsep politik sama halnya dengan praktek tipu-menipu, maka tidak heran, politik justru lebih banyak menghidangkan konflik dan perpecahan daripada misi mulia politik yakni untuk kepentingan dan kesejahteraan banyak orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini, kita berada dalam tahun politik. Sebagian praktek politik telah usai. Sebagian sementara berproses dan bakal mencapai hari H-nya.
Fakta menunjukkan kepada kita, betapa akses politik menyisakan begitu banyak persoalan miris dan miring. Miris karena tidak biasa dan miring karena melenceng dari yang seharusnya.
Pasca Pilkades, Pilpres dan Pileg (Nasional, DPD, Regional, Lokal), tentu kita amati, betapa praktek politik “merusak” begitu banyak relasi kekeluargaan dan persahabatan. Pertanyaannya ialah apa yang salah itu, politik? Atau apa yang salah dari politik?
Sebagai thesis awal, Saya mengutip pemikiran Seorang Ahli ; Miriam Budiardjo (Pakar Ilmu Politik dan Diplomat Indonesia). Ahli ini berpendapat bahwa politik merupakan suatu usaha untuk mencapai sebuah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Minimal dari pemikiran ahli ini, kita tahu bahwa terdapat dua konsep yang berbeda tentang politik. Satunya, konsep negatif dan duanya; konsep positif. Konsep negatif menempatkan praktek politik pada ruang urusan tipu-menipu, sementara konsep positif, menempatkan politik pada ruang urusan kepentingan banyak orang.
Sementara itu, Norbert Jegalus (Dosen Filsafat UNWIRA Kupang), tentang politik, analisisnya berpusat pada tiga istilah dalam bahasa inggris. Yang pertama; Politcs, yang kedua; Policy dan yang ketiga Polity. Politics berhubungan dengan kepentingan banyak orang. Policy berkaitan dengan kebijakan publik yang di dalamnya ada formulasi dan eksekusi, dan Polity berurusan dengan urusan pemerintah, yang di dalamnya ada hukum dan aturan birokrasi. Ketiganya berkonsentrasi secara teratur pada kesejahteraan banyak orang.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tulisan ini memaksudkan politics sebagai sasaran analisis. Di mana, politik dalam arti indonesia, dimaksudkan sebagai urusan kepentingan banyak orang. Karena berurusan dengan banyak orang, maka diperlukan orang yang memimpin (pemimpin). Jalan untuk seseorang menjadi pemimpin atau dijadikan pemimpin, itulah jalan politik. Pada jalan politik ini, demokrasi memiliki tempatnya. Demokrasi merupakan aspek penting dan utama dalam kancah dan canvas politik Indonesia. Sebagai corong untuk demokrasi, disediakan ruang Pemilihan Umum (Pemilu) mulai dari tinggal nasional ; Pilpres, Pileg (DPR RI, DPD, DRPD Provinsi dan DPRD Kabupaten), Pilgub dan Pilkada dan Pilkades. Pemilu merupakan salah satu jalan bagi demokrasi.
Beberapa analisis di bawah ini, dikemukakan untuk membeberkan; sebetulnya apa sebab dikatakan politik itu kotor.
Yang pertama : Politik diasalkan pada Aktornya
Politik didasarkan dan diasalakan pada aktornya. Apabila aktor itu menggunakan cara buruk dalam berpolitik, tindakan seperti itu, menjerat politik dan sekaligus menciptakan ruang bagi hadirnya asumsi buruk terhadap politik. Itu berarti, perilaku menyimpang dan buruk dari politisi merupakan ruang dan kesempatan bagi tumbuhnya asumsi buruk terhadap politik.
Yang kedua : Praktek Politik didasarkan pada Motivasi Aktor
Para simpatisan politik dan masyarakat pada umumnya, tentu tahu apa motivasi seseorang jika ingin terjun dalam dunia politik. Hampir tak dapat dipastikan kebenaran dan kemurnian motivasi karena kebanyakan sosialisasi ataupun kampanye selalu dibumbui dengan janji-janji manis politisi. Kesejahteraan masyarakat seringkali menjadi informasi murahan dan mudah saja dijual untuk mendulang dan menumpuk polularitas. Motivasi transaksional seringkali dimainkan dalam eksen politik dengan bungkusan sekian bantuan dan janji-janji proyek untuk tim yang berkontribusi.
Apabila motivasinya transaksional, niscaya motivasi yang sama akan menggerakan seluruh kebijakannya bercorak transaksional. Corak transaksional nampak sekali dalam praktek politik uang (money politic) entah untuk mencapai jabatan maupun untuk mencapai maksud tertentu.
Yang ketiga : Robotisasi Aktor Politik Kaum Elit
Tekanan Kaum Atas bisa berupa partai politik ataupun petinggi partai politik dapat menyebabkan orang tertentu maju tanpa kematangan entah secara personal maupun secara finansial. Akibatnya, banyak relasi dimanfaatkan dan terpola dalam sistem janji dan sistem konsolidasi negatif. Aktor politik bersangkutan ibarat robot yang siap dikendalikan dengan remot dari insan papan atas dan tampuk tingkat tinggi. Akibatnya, kualitas personal aktor politik banyak kali tidak menjadi prioritas utama melainkan seberapa besar popularitas publik yang didulang.
Niat bertarung dalam ruang politikpun seringkali diperkuat dengan berbagai macam strategi manipulasi. Hal seperti ini, tentu makin parah, apabila kaum elit politik papan atas tidak kritis berdasarkan mata pisau Pancasila untuk mencermati niat para aktor.
Yang keempat : Desakan Quota dan Kualifikasi Personal Aktor Politik
Kita saksikan; baru saja kita lewati pemilihan. Kata salah satu teman Saya; hampir saja baliho yang terpampang di cabang ataupun di rumah-rumah masyarakat, lebih banyak jumlahnya daripada jumlah KK sekitarnya..he he he. Namun hal ini dapat kita analisis. Jika Partai mensyarakatkan sejumlah figur untuk menduduki calon demi lolos mengikuti pemilu maka maka problem yang timbulpun tidak sedikit. Terdapat banyak figur yang belum matang dan belum siap bertarung dalam momen pemilu tetapi karena rayuan manis partai politik, dan berhadapan dengan niat “ingin coba ataupun coba-coba”, maka terjadi saja bahwa si aktor tersebut pasti ingin berpartisipasi. Problemnya ialah dari figur-figur seperti itu, besar kemungkinan; kehadiran, akses dan eksen mereka berpotensi menciptakan ruang bagi tumbuhnya asumsi buruk terhadap politik.
Yang Kelima : Kampanye Negatif (Negative Campaign) dan Kampante Hitam (Black Campaign)
Aryanto Putranto Saptohutomo (Editor) dalam Kompas.com, di sana diuraikan tentang perbedaan kampanye hitam dan kampanye negatif. Intinya ialah kampanye negatif menggunakan cara melemahkan seseorang dengan sasaran pada karakter seseorang. Sementara kampanye hitam berarti menuduh seseorang dengan berita bohong ataupun berita palsu; tanpa bukti. Entah kampanye negatif maupun kampanye hitam; keduanya tidak dapat dibenarkan karena sama-sama menyerang karakter seseorang, di mana kampanye negatif memojokkan karakter seseorang dan kampanye hitam merusakkan karakter seseorang.
Prakter seperti di atas, entah kampanye negatif maupun hitam, banyak terjadi baik di tingkal kabupaten, provinsi maupun nasional. Justru praktek seperti inilah, yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya asumsi buruk terhadap politik. Itulah sebabnya, mengapa ungkapan bahwa politik itu kotor; politik itu buruk; politik itu tipu-menipu terus hadir dalam perhelatan politik.
Yang kelima : Politik dan Arah Konstruktifnya
Dasar partipasi politik ialah perjuangan akan kesejahteraan banyak orang. Seorang politisi dituntut untuk benar-benar menanamkan dalam dirinya komitmen kebangsaan yang berdasar pada Pancasila, bersandar pada UUD 1945, NKRI dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini hanya dimungkin dengan suatu kesadaran akan nilai dan atas suatu kesadaran terhadap kenyataan sosialitas sebagai eksistensia. Bahwasannya, politik dalam urusan banyak orang diperjuangkan melalui Demokrasi dan Pemilu untuk mencapai kekuasaan, tetapai kekuasaan itu tidak tak terbatas. Kuasa berdaya guna karena ada yang memungkinkan adanya kuasa.
Politik dalam arti perjuangan untuk kepentingan banyak orang, memang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Namun kuasa yang dimiliki, tidak dapat sebebas-bebasnya dipergunakan. Itulah sebabnya, seperangkat aturan diciptakan sebagai pedoman dalam menjalankan kekuasaan.
Penulis : RD. Yudel Neno
Editor : YFN