Kemerdekaan Berpendapat dan Tantangannya dalam Pergeseran Wadah dan Cara

- Penulis

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 13:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Landasan Normatif Kebebasan Berpendapat

Habermas, Filsuf Jerman, jauh sebelumnya telah berbicara tentang ruang publik sebagai ruang kehidupan, di mana manusia dapat berekspresi dan berpendapat. Ruang Publik ini disebut oleh Habermas dengan istilah lebenswelt.

Tentang kebebasan berekspresi, dalam hal ini berpendapat, merupakan suatu kenyataan istimewa bahwa di Indonesia, kebebasan berpendapat dipandang sebagai hak dan karena itu dilindungi oleh konstitusi.

Beberapa kutipan di bawah ini, diambil untuk menunjukkan bukti formulasi yuridis kebebasan berpendapat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

UUD 1945 pasal 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

UUD 1945 pasal 28E ayat 3

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

UU Nomor 39 Tahun 1999, pasal 23 ayat 2 

Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

UU Nomor 39 Tahun 1999, pasal 25

Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

UU Nomor 12 Tahun 2005, pasal 18  

Hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat.

Uraian dalam pasal-pasal di atas jelas membuktikan bahwa kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi karena merupakan bagian dari aktualisasi diri dalam hal ini; hak sebagai warga negara.

Landasan Normatif Sanksi dan Jenis Kesalahan

Walaupun demikian, ada catatan yuridis yang perlu diperhatikan. Catatan itu kita temukan dalam keseluruhan UU ITE. Sekurang-kurangnya ada beberapa pasal yang mengatur tentang jenis kesalahan dan sanksi yuridis yang dikenakan. Yang pertama ; Menyebarkan Video Asusila (Pasal 27 ayat 1), yang kedua ; Judi Online (Pasal 27 ayat 2), yang ketiga ; Pencemaran Nama Baik (Pasal 27 ayat 3), yang keempat ; Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 27 ayat 4), yang kelima ; Berita Bohong (Pasal 28 ayat 1), yang keenam ; Ujaran Kebencian (Pasal 28 ayat 2), yang ketujuh ; Teror Online (Pasal 29). 

Dari paparan normatif yang termuat dalam lembaran Konstitusi dan UU seperti di atas, nampak bahwa kemerdekaan atau kebebasan berpendapat; sama sekali tidak sebebas-bebasnya. Bahwasannya, kebebasan berpendapat dilandasi konstitusi dan dihargai, sejauh tidak menimbulkan pelanggaran terhadap martabat manusia Indonesia. Apa yang dicatat dalam UU ITE, kiranya membuktikan bahwa manusia tetap merupakan Subjek yang tetap ditunjung tinggi oleh hukum manapun. Hukum manapun, tentu tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia, melainkan untuk menjaga dan merawatnya.

Fakta yang Terjadi pada Layar Media Sosial

Kita menyaksikan; betapa layar media sosial, penggunaannya diperlakukan sungguh-sungguh sebagai wadah untuk menjajah. Penggunaan media sosial seperti facebook, instagram, twitter, whatsapp hingga saat ini, capaian maksimalnya berbanding seimbang dengan gelontoran informasi teror, hoaks dan kebencian.

Saya mengutip uraian dalam Jurnal berjudul ; Analisis Penyebaran Berita Hoax Pada Pengguna Media Sosial Berdasarkan Hypodermic Needle Theory, yang ditulis oleh M Ravii Marwan dan Tafana Dwi Prasanti.

Ada dua paragraf penting diambil sebagai kutipan dalam tulisan ini. Kiranya membantu kita untuk memahami apa yang sedang dilakonkan saat ini dalam kaitannya dengan penggunaan layar media sosial. 

Penelitian yang dilakukan We Are Social, menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan tiga jam lebih sehari untuk mengakses media sosial. Total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, sedangkan pengguna aktif media sosialnya mencapai 130 juta dengan penetrasi 49% (Pertiwi, 2018). Media sosial merupakan media yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoax. Masyarakat Telematika (MASTEL) (2017) dalam hasil surveinya tentang “Wabah Hoax Nasional” menyebutkan bahwa saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah media sosial (Facebook, Twitter, dan Instagram) yang mencapai 92,40% menyusul aplikasi chatting seperti Whatsapp, Line, Telegram yaitu sebesar 62,80%, sementara melalui situs web, hanya mencapai 34,90%.

Sementara riset yang dilakukan DailySocial.id yang bekerjasama dengan Jakpat Mobile Survey Platform terhadap 2032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia, menyimpulkan saluran terbanyak penyebar berita bohong atau hoax dijumpai di media sosial yaitu presentasenya di Facebook (82,25%), Whatsapp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa sebanyak 44,19% responden tidak yakin memiliki keahlian dalam mendeteksi berita hoax, sebanyak 51,03% responden memilih untuk berdiam diri ketika menemui hoax, sekitar 72% responden memiliki kecenderungan untuk membagikan informasi yang mereka anggap penting serta sebagian besar responden (73%) selalu membaca seluruh informasi. Namun hanya 55% yang selalu memverifikasi keakuratan atau fact check (Sakti, 2018).Sementara itu, Kementerian Kominfo merilis hasil temuan mereka sepanjang tujuh bulan sejak Agustus 2918 hingga Februari 2019, terdapat 771 hoax yang berhasil teridentifikasi. Temuan ini juga menyebutkan bahwa jumlah konten hoax yang beredar di media sosial terus meningkat dari bulan ke bulan. Bulan Agustus 2018, hanya 25 informasi hoax yang diidentifikasi hingga bulan Februari 2019 mencapai 353 konten hoax (Kominfo, 2019).

Penelitian yang temakhtub dalam dua paragraf di atas, jelas menunjukkan kepada kita bahwa penggunaan media sosial; sedang tidak baik-baik saja. Ditemukan begitu banyaknya penyimpangan dalam penggunaan media sosial, merupakan catatan penting bagi kita saat ini, bahwa sudah tiba saatnya kemerdekaan perlu dirayakan dengan cara partisipatif dan patuh pada kaidah-kaidah yang berlaku.

Multi-Pergeseran dalam Kebebasan Berpendapat

Setiap Manusia Indonesia dijamin untuk bebas berpendapat. UU Nomor 9 Tahun 1998, Bab IV Pasal 9, menyebutkan tentang Bentuk-Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Yang pertama ; unjuk rasa atau demonstrasi; yang kedua ; pawai; yang ketiga ; rapat umum; dan yang keempat ; mimbar bebas.

Apa yang disebutkan oleh UU di atas, normalnya biasa dilakukan. Namun problem yang terjadi saat ini ialah substansi informasi diubah dan wadah yang digunakan ialah dunia digital, dalam hal ini akses online layar media sosial.

Pergeseran Wadah

Dari keleluasaan dunia digital, ternyata muncul begitu besar kebebasan dan keberanian yang bercorak kasuistik. Orang akan lebih berani mendiskreditkan pihak lain (bahkan sahabat baiknya) pada layar media sosial daripada bertatap muka langsung. Apa yang telah lama diungkapan oleh Emanuel Levinas, Filsuf Prancis Kontemporer tentang Etika Wajah tidak banyak membantu bagi pengguna layar media sosial. Sesama bukannya dipandang martabatnya sebagai sosok yang perlu ditemui empat mata, malah dipandang sebagai objek pelampiasan keberanian semu dalam cetakan jarak layar media sosial.

Media sosial, yang idealnya dipergunakan sebagai sarana berbagi malah berubah tampilannya menjadi sarana untuk melancarkan bom dan teror informasi.

Pergeseran Cara

Media sosial, yang idealnya dipergunakan sebagai sarana berbagi malah berubah tampilannya menjadi sarana untuk melancarkan bom dan teror informasi. Di sinilah terdapat pergeseran cara menggunakannya. Idealnya, media sosial perlu dipandang sebagai wadah, yang penggunaannya menjunjung tinggi kaidah publikasi sama seperti yang termakhtub dalam UU ITE.

Fakta yang terjadi, layar media sosial malah dihebohkan dengan banjir informasi yang lebih mementingkan percepatan upload daripada keyakinan akan keabsahan informasi. Akibatnya, hoaks dan berita kebencian, hadirnya sulit dan bahkan tak dapat dibendung. Kondisi seperti ini makin parah, apabila para penggunanya merasa lumrah saja; menghalalkan cara yang “sebegitunya” demi memenuhi birahi digital.

Pergeseran Substansi

Kebebasan berpendapat versi dunia digital berubah wujud dan subtansi. Dalam wujudnya yang digunakan, substansi mengalami pergeseran.

Dari Perihal Akademik menuju Perihal Anekdot

Para pengguna media sosial saat ini, jika ditelusuri secara mendalam; lebih doyan terhadap konten anekdot sebagaimana tertera pada layar facebook, youtube, tiktok, intagram dan twitter. Akses terhadap perpustakan online yang berisi informasi akademik yang jauh lebih berguna, banyak kali diabaikan karena dianggap membosankan. Perihal anekdot lebih laris, barangkali karena murah dan mudah dicerna. Tulisan-tulisan bermanfaat pada website mengalami degradasi pengunjung. Karya akademik pada layar website dilanda virus kesepian. Inilah kisah tragis yang sedang melanda generasi muda bangsa, saat ini.

Dari Visual Tekstual menuju Visual Gambar dan Video

Pada layar tontonan youtube, reel facebook dan instagram, akan nampak lebih banyak pengunjung daripada catatan pembaca pada administrasi perpustakaan entah online maupun offline. Gambar (meme) dan video anekdot akan lebih mudah dishare berbanding paragrag ilmu. Sambil mengandalkan perpecapatan informasi dan klaim atas hak berbagi, substansi informasi banyak kali diabaikan. Kebebasan untuk mendapatkan dan membagikan iformasi, bercorak prematur karena tidak matang secara akademik untuk dipertimbangkan dan belum layak secara etis untuk dibagikan.

Karikatur berfaedah, yang biasanya berisi catatan kritis, mudah dibully dan dijadikan sebagai bahan lelucon. Video-video motivasi yang berdurasi singkat, banyak kali di-skip, karena dipandang tidak zaman. Inilah fakta yang melanda kita saat ini……

Dari Durasi ke Kecepatan

Kalau kita perhatikan, konten apapun yang dipublikasikan, daya tariknya sangat berpengaruh pada jumlah tontonan. Konten yang tidak menarik, nasibnya berujung pada pencet skip. Problemnya ialah daya tarik yang dimaksud, ukurannya justeru pada konten yang berbau anekdot. Seakan-akan dunia anekdot menjadi penguasa tunggal dalam layar informasi. Kondisi seperti ini menciptakan asumsi digital bagi para pengguna sambil menyediakan ruang hasutan. Para pengguna ibarat diteror dan ketakutan mereka akan kehilangangan informasi yang mementingkan kecepatan dan birahi anekdot membuat mereka tak lagi peduli dengan substansi akademik, melainkan lebih doyan terhadap percepatan dan akumulasi rating.

Pergeseran Mental dan Karakter

Akses media sosial menyisakan fakta degradasi karakter. Kebebasan berpendapat menjadi momok yang menakutkan dalam dunia digital yang sarat hoaks, fakenews dan teror. Manusia terbiasa dengan pola birahi digital sambil menggaungkan gerakan anekdot sebagai semboyan kebebasan semu.

Pernyataan ala bisa karena biasa, di satu sisi memberi catatan negatif bahwa membiasakan diri dalam hal dan praktek yang melanggar moral, kelak akan terbawa-bawa pula sebagai aktor hoaks, fakenews dan teror.

Mari Berpendapat dan Mari Taat Asas

Mari berpendapat dan mari taat asas. Kita bebas berpendapat, tetapi tidak sebebas-bebasnya. Bebas merupakan kondisi di mana, akal budi manusia harus segera patuh pada kaidah dalam berpendapat. Layar media sosial terbuka lebar untuk diakses. Namun martabat publikasi harus tetap dijunjung tinggi.

 

MERDEKA……MERDEKA…..MERDEKA

 

Penulis : RD. Yudel Neno

Dituliskan sebagai Wujud Perayaan HUT RI ke – 79

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir
Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya
Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan
Makna Hidup di Era Algoritma
Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia
Pemikiran Alfred North Whitehead tentang Tuhan dan Kejahatan
Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi
Menghindari Sikap Sinis dan Memperkuat Sikap Skeptis dalam Jurnalisme
Berita ini 7 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 30 Oktober 2024 - 08:47 WITA

Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir

Selasa, 22 Oktober 2024 - 20:24 WITA

Delapan Wajib TNI dan Uraian Filosofisnya

Selasa, 22 Oktober 2024 - 16:10 WITA

Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan

Senin, 21 Oktober 2024 - 21:19 WITA

Makna Hidup di Era Algoritma

Senin, 21 Oktober 2024 - 14:55 WITA

Jokowi dan Prabowo : Hubungan Unik dalam Politik Indonesia

Berita Terbaru

Photo by <a href=Greg Bulla on Unsplash " width="129" height="85" />

Pemasaran Digital

Tips Mendapatkan Kata Kunci dalam Hitungan SEO

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:09 WITA

Pemerintahan

Mengapa Donald Trump Menang? Dan Apa Dampaknya Buat Indonesia

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:05 WITA

Politik

Tipologi Pemilih dan Tipe Pemilih yang Ideal

Rabu, 6 Nov 2024 - 02:51 WITA