LopoNTT.com – Diam Bersama dengan Rukun – Sebuah Refleksi Eksegetis atas Motto Tahbisan Imam Berdasarkan Teks Mazmur 133:1 – oleh Rm. Yudel Neno, Pr —— Kami ditahbiskan menjadi Diakon di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang oleh Uskup Atambua; Mgr. Dominikus Saku, Pr di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang, 31 Mei 2019. Selanjutnya pada 21 November 2019, Kami ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Atambua; 21 November 2019 di Paroki Santa Filomena Mena – Dekenat Mena.
Paus Fransiskus: “Kita dipanggil untuk menjalin persaudaraan sejati dengan semua orang dan menjaga harmoni yang Allah kehendaki bagi seluruh ciptaan.“ (Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2014)
Diam Bersama dengan Rukun berdasarkan Teks Mazmur 133:1, Saya pilih sebagai motto tahbisan berdasarkan refleksi atas kenyataan bahwa kerja sama hanya dapat berjalan baik dan efektif apabila di antara orang-orang yang bekerja, terdapat dalam diri siap diam; untuk saling mendengarkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca Juga : Tiga Tahun Imamat Romo Yudel Neno Diam Bersama Dengan Rukun Semangat yang Takkan Pernah Kendor
Untuk refleksi selanjutnya, kita dibantu berdasarkan tawaran point dan makna sesuai teks Mazmur
Mazmur 133:1 berbunyi, “Sungguh, alangkah baiknya dan alangkah indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun.” Teks ini mengungkapkan tema persatuan dan keharmonisan dalam komunitas. Dalam konteks iman Katolik, persatuan merupakan salah satu nilai inti yang diajarkan oleh Yesus. Keharmonisan di antara sesama adalah manifestasi dari kasih Kristus yang menyatukan kita. Hal ini juga mencerminkan kehendak Allah bagi umat-Nya agar hidup dalam kasih dan kerukunan.
“Kesejahteraan umat manusia sangat tergantung pada kemampuan kita untuk hidup bersama dalam persatuan dan saling pengertian, saling menghormati perbedaan satu sama lain.” (Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate, 2009)
Eksegesis dari Mazmur ini menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya Israel kuno. Dalam masyarakat tersebut, persatuan dianggap sebagai kekuatan yang memelihara stabilitas dan kemakmuran. Bagi umat Israel, hidup dalam kerukunan berarti berada dalam relasi yang baik; tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan Allah.
Baca Juga : Diam Bersama dengan Rukun Semangat yang Takkan Pernah Kendor
Tradisi lisan dan tulisan dalam kitab-kitab Mazmur menekankan pentingnya kebersamaan dan keutuhan sebagai umat pilihan Allah. Hal ini relevan dalam kehidupan kita sebagai komunitas Gereja, di mana setiap individu dipanggil untuk berkontribusi dalam persatuan iman.
Hidup dalam persaudaraan dan damai adalah panggilan untuk setiap orang beriman; ini adalah jalan menuju kasih Allah yang mendalam.” (Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte, 2001)
Teologi Katolik menekankan bahwa persatuan dalam iman adalah panggilan universal. Dalam Katekismus Gereja Katolik, dinyatakan bahwa “Gereja adalah satu karena sumbernya, yaitu Allah, dan tujuan akhirnya, yaitu Kerajaan Allah” (KGK 813).
Baca Juga : Diam Bersama dengan Rukun
Dengan demikian, Mazmur 133:1 mengingatkan kita bahwa hidup dalam rukun adalah wujud nyata dari kehadiran Allah di tengah-tengah kita.
Perdamaian sejati lahir dari semangat persaudaraan yang menghormati dan memahami orang lain.” (Paus Paulus VI dalam Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1972)
Dalam kehidupan sehari-hari, persatuan ini harus diwujudkan dalam bentuk saling menghormati, memahami, dan mendukung satu sama lain. Hal ini menegaskan bahwa setiap anggota komunitas memiliki peran penting dalam menciptakan keharmonisan.
Baca Juga : Serba-Serbi Memaknai Hari Panggilan
Konsep “diam bersama” dalam Mazmur 133:1 mengisyaratkan kedamaian dan ketenangan. Dalam konteks spiritual, “diam” bukan hanya berarti tidak berbicara, tetapi lebih kepada sikap mendengarkan dan merenungkan kehadiran Allah.
Paus Fransiskus: “Perdamaian harus dibangun sehari-hari, dalam rumah kita, di tempat kerja, dan di dunia; ini adalah pekerjaan tangan kita, yang berakar pada kasih karunia Allah.” (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2017)
Filsuf dan teolog, seperti Thomas Merton, menggarisbawahi pentingnya keheningan dalam hidup spiritual, yang memungkinkan kita untuk mendengarkan suara Tuhan. Keheningan ini menciptakan ruang bagi Allah untuk berbicara dalam hati kita. Dengan demikian, “diam bersama” menjadi sarana untuk memperdalam relasi kita dengan Tuhan dan sesama.
Baca Juga : Diam Bersama dengan Rukun Semangat yang Takkan Pernah Kendor
Ketika kita berdiam bersama dalam rukun, kita juga menciptakan ruang untuk saling berbagi dan mendengarkan. Dalam komunitas, setiap orang membawa pengalaman dan perspektif yang berbeda.
Paus Benediktus XVI: “Perdamaian adalah buah keadilan dan hasil solidaritas di antara manusia.” (Pesan untuk Hari Perdamaian Sedunia, 2012)
Dengan membuka diri untuk mendengar satu sama lain, kita membangun jembatan pengertian yang memperkuat persatuan. Pendekatan ini sangat penting dalam konteks Gereja yang beragam, di mana terdapat banyak perbedaan dalam latar belakang budaya dan teologis. Dalam proses ini, kita belajar untuk menghargai keberagaman sebagai bagian dari rencana Allah.
Paus Yohanes Paulus II: “Damai tidak mungkin tercapai tanpa adanya saling pengertian, keadilan, dan kasih. Ini adalah panggilan seluruh umat manusia.” (Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1982)
Selain itu, persatuan dalam keheningan juga mencerminkan tindakan iman. Dalam suratnya kepada umat di Kolose, Paulus menekankan pentingnya hidup dalam kasih dan kerukunan (Kolose 3:14). Kasih adalah landasan dari semua hubungan yang baik, dan merupakan panggilan bagi kita untuk saling melayani.
Paus Paulus VI: “Jika Anda ingin perdamaian, bekerjalah untuk keadilan.” (Populorum Progressio, 1967)
Dalam konteks Mazmur 133:1, persatuan yang terjalin harus diwarnai oleh kasih yang tulus. Inilah yang membuat keharmonisan dalam komunitas bukan hanya mungkin, tetapi juga menjadi sesuatu yang indah.
Selanjutnya, penting untuk melihat bagaimana Mazmur ini terhubung dengan ajaran Yesus.
Dalam Injil, Yesus berulang kali menekankan perlunya persatuan di antara pengikut-Nya. Ia berdoa agar semua murid-Nya menjadi satu (Ut Unum Sint), seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yohanes 17:21). Dalam konteks ini, Mazmur 133:1 dapat dipahami sebagai panggilan bagi umat untuk menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Allah. Dengan mengikuti teladan Kristus, kita diajak untuk membangun persatuan yang berakar pada kasih dan pengorbanan.
Praktik kebersamaan ini tidak selalu mudah, terutama dalam dunia yang sering kali terpecah-belah. Namun, dengan berpegang pada nilai-nilai yang diajarkan dalam Mazmur ini, kita dapat menghadapi tantangan tersebut.
Dalam setiap komunitas, ada potensi untuk konflik dan perbedaan pendapat. Dalam konteks ini, kita harus tetap ingat akan panggilan untuk berdiam bersama dengan rukun. Ini menjadi tugas kita sebagai umat Katolik untuk mengatasi perbedaan dengan kasih dan pengertian.
Ketika kita melibatkan diri dalam komunitas, kita diingatkan akan kekuatan solidaritas. Sejarah Gereja menunjukkan bahwa dalam kesatuan, umat Katolik mampu mengatasi tantangan yang ada.
Dokumen “Gaudium et Spes” dari Konsili Vatikan II menekankan tanggung jawab sosial dan pentingnya kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks ini, persatuan bukan hanya soal keharmonisan internal, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai Gereja berkontribusi dalam masyarakat. Dengan hidup dalam rukun, kita menjadi saksi kasih Allah bagi dunia.
Rukun juga berarti bahwa kita saling mendukung dalam perjalanan iman masing-masing. Kita diundang untuk saling mendoakan dan memperkuat satu sama lain dalam tantangan hidup.
Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK artikel 954), dinyatakan bahwa “komuni orang kudus” berarti saling mendukung dalam iman. Kehadiran satu sama lain menjadi sumber kekuatan dan penghiburan. Dalam suasana seperti ini, keheningan dan doa menjadi sangat penting, memungkinkan kita untuk terhubung dengan Allah dan sesama.
Dalam konteks rukun, kita juga diingatkan untuk mengedepankan kerendahan hati. Sebagaimana diajarkan oleh Santo Paulus dalam Filipi 2:3, kita diajak untuk menganggap orang lain lebih utama daripada diri kita sendiri. Paulus melalui teks ini mempertemukan kepada kita sikap rendah hati dan solidaritas. Kedua sikap ini menjadi syarat formil bagi kualitas sebuah kerukunan. Apabila hidup rukun dilakukan, dan dilakukan dengan tulus, maka solidaritas akan dituai.
Keberanian untuk mendengarkan dan menerima pandangan orang lain adalah langkah awal untuk membangun persatuan. Keberadaan keperawanan hati dan sikap terbuka ini memperkuat komunitas kita. Dengan demikian, rukun bukan hanya tentang kesepakatan, tetapi juga tentang saling menghormati dan mengakui martabat masing-masing.
Pentingnya kehadiran Roh Kudus dalam menciptakan rukun juga tak bisa diabaikan. Dalam konteks eklesial, Roh Kudus adalah sumber persatuan dan pengudusan.
Dalam surat kepada umat di Efesus, Paulus menggambarkan Gereja sebagai tubuh Kristus yang bersatu dalam satu Roh (Efesus 4:4-6). Di sini, Mazmur 133:1 mengajak kita untuk menyadari bahwa persatuan yang sejati hanya dapat tercapai melalui karya Roh Kudus. Keberadaan-Nya dalam komunitas kita menjadi tanda nyata dari kehadiran Allah di tengah-tengah kita.
Selanjutnya, kita harus ingat bahwa rukun juga membawa implikasi misi. Sebagai Gereja, kita dipanggil untuk menjadi terang bagi dunia dan garam bagi bumi. Dalam Matius 5:14-16, Yesus mengingatkan kita bahwa kita adalah cahaya dunia. Dengan hidup dalam rukun, kita dapat menjadi saksi kasih Allah yang nyata. Misi kita bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk menarik orang lain kepada Kristus melalui teladan kehidupan kita.
Menyimpulkan refleksi ini, penting untuk memahami bahwa Mazmur 133:1 bukan hanya sebuah puisi, tetapi juga panggilan untuk hidup dalam kasih dan persatuan. .
Dalam setiap aspek kehidupan, kita diajak untuk menciptakan ruang bagi keheningan, saling mendengarkan, dan mendukung. Melalui semua ini, kita mewujudkan ajaran Kristus yang menekankan pentingnya persatuan dalam kasih. Dengan berdiam bersama dalam rukun, kita memberi diri untuk dipakai oleh Allah dalam rencana-Nya. Dengan demikian, kita menjadi bagian dari karya keselamatan-Nya di dunia ini.
Akhirnya, refleksi ini mengajak kita untuk merenungkan peran kita masing-masing dalam membangun persatuan dalam komunitas.
Mari kita berkomitmen untuk hidup dalam rukun, menghargai keberagaman, dan saling mendukung dalam iman. Dalam dunia yang sering terpecah belah, menjadi pelopor persatuan adalah tanggung jawab kita sebagai umat Katolik. Kita diajak untuk berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih penuh kasih.
Mari kita berdoa agar Allah memberikan kita kekuatan dan kebijaksanaan untuk menjalani panggilan ini setiap hari.
Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr
Penulis : Yudel Neno
Editor : YFN