LopoNTT.com – Yudel Neno, Pr – Bubursikun, sebuah Kampung kecil yang tersembunyi di jantung pedalaman Ponu. Di tempat ini, waktu seperti berhenti sejenak. Kampung ini, yang termasuk dalam Dusun III, RT XIX, Desa Ponu, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, adalah gambaran kesederhanaan dan ketabahan manusia yang berbaur dengan alam.
Di sini, hidup masyarakatnya terikat pada tanah yang mereka garap dan pepohonan yang mereka rawat. Asam menjadi raja hasil bumi, menggantung pada cabang-cabang pohon dengan keanggunannya yang masam. Di sela-sela pohon asam itu, beberapa keluarga menekuni budidaya mete. Ladang jagung dan hamparan sawah padi menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Keringat yang bercucuran dari dahi mengalir seiring dengan doa-doa yang mereka panjatkan kepada Sang Pemilik Hujan.
Namun, Bubursikun adalah potret perjuangan yang belum sempurna. Malam di kampung ini diterangi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit gelap. Listrik belum menyentuh tanah ini, dan untuk sekadar penerangan, sebagian kecil warga menggunakan tenaga surya. Namun, sebagian besar masih bergantung pada lampu pelita, yang cahayanya redup, gemetar seperti nyala kecil harapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Air bersih menjadi barang berharga di Bubursikun. Mayoritas warga mengandalkan tangki air yang datang pada saat-saat tertentu. Ada satu sumber air alami di luar kampung, namun jaraknya cukup jauh, sekitar satu setengah kilometer dari rumah-rumah penduduk. Perjalanan menuju sumber air ini bukan perkara mudah; jalan setapak yang berkelok hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau sepeda motor. Setiap langkah yang diambil menuju sumber itu adalah langkah yang menuntut kesabaran dan kekuatan.
Kampung ini sunyi. Keheningan sering kali hanya dipecah oleh suara angin yang melintasi pepohonan dan deru kendaraan bermotor yang jarang melintas. Suara burung-burung pagi dan bunyi jangkrik malam adalah musik alami yang menemani penduduk.
Dalam kesunyian itulah, kami berkunjung ke sebuah rumah kecil, dindingnya dari bilik bambu yang lapuk. Di rumah itu tinggal seorang siswa yang telah lama tidak menginjakkan kaki di sekolah karena sakit. Ketika kami tiba, ibunya menyambut kami dengan senyum lelah yang terpancar dari wajah yang dikeriputi kerja keras. Suasana rumah begitu sederhana.
Mata anak itu redup, seperti lampu pelita yang hampir padam, namun dalam redup itu tersimpan kerinduan yang mendalam akan kehidupan yang lebih baik. Ia ingin sekali kembali ke sekolah, ia ingin menulis, membaca, dan mengeja mimpi-mimpinya yang tertunda. Tetapi tubuhnya lemah, dirongrong oleh penyakit yang enggan pergi. Kami hanya bisa duduk di sampingnya, menggenggam tangannya, dan berjanji untuk membantunya semampu kami.
Bubursikun adalah tempat yang mengajarkan arti ketabahan dan harapan. Di tengah keterbatasan, masyarakatnya tetap bertahan, dengan semangat yang tak mudah pudar. Di antara pelita-pelita yang redup itu, ada cahaya-cahaya kecil yang terus menyala, membawa harapan bahwa suatu hari nanti, kehidupan akan menjadi lebih baik bagi mereka.
Bubursikun, sebuah nama yang mungkin terdengar asing di telinga banyak orang, namun di dalamnya tersimpan kisah-kisah purba yang berbisik lirih kepada mereka yang bersedia mendengar. Di sudut lopo tua, berdiri tanduk rusa yang tertancap seperti mahkota bisu, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang panjang. Di sampingnya, sayap elang terentang dalam keheningan, dan cakar tajam elang yang dulu menggenggam langit kini diam dalam takluk.
Bukan sekadar pajangan, tanduk, sayap, dan cakar ini adalah simbol dari sebuah kekayaan yang tak lekang oleh waktu. Mereka adalah fragmen dari kisah alam yang masih asli, utuh dalam harmoni yang jarang terganggu oleh suara mesin atau pijakan kaki manusia yang serampangan. Alam Bubursikun berbicara dalam bahasa hening, sebuah dialog tanpa kata yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau mendekat dengan hati yang terbuka.
Perjalanan menuju kampung ini adalah sebuah alur cerita yang penuh keajaiban. Jalan-jalan berliku yang mengular seperti ular sawah, sesekali diselingi dengan jembatan kecil yang berderak ketika dilalui. Mobil dan sepeda motor menjadi saksi keberanian para pengelana yang datang untuk menyaksikan keindahan tersembunyi ini. Semakin jauh perjalanan, semakin terasa bahwa tempat ini adalah sebuah dunia yang berbeda, di mana waktu seolah melambat, memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas lebih dalam.
Di sinilah, di kampung kecil yang tak terlalu dikenal ini, terdapat nilai-nilai yang terpendam seperti harta karun yang menunggu untuk ditemukan. Kekayaan ini bukanlah emas atau permata, melainkan kesederhanaan hidup, keutuhan alam, dan kearifan lokal yang melekat pada setiap denyut kehidupan penduduknya. Mereka yang tinggal di sini hidup selaras dengan alam, menjaga harmoni seperti simfoni yang tak pernah sumbang.
Tulisan ini, dengan segala keterbatasannya, adalah upaya untuk menyampaikan salam dari Bubursikun, sebuah perkenalan kepada dunia luar. Ia adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam, sebuah undangan untuk merasakan dan menghormati kekayaan yang ada. Seperti tanduk rusa yang tegak berdiri, seperti sayap elang yang pernah membelah angin, dan seperti cakar yang pernah menggenggam bumi, kampung ini adalah simbol kekuatan dan keindahan yang selayaknya dijaga.
Mari, berhenti sejenak, duduk di bawah lopo tua itu, dan biarkan keheningan berbicara. Di Bubursikun, ada cerita yang menunggu untuk didengar, ada keindahan yang menunggu untuk dilihat, dan ada kekayaan yang tak ternilai yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang mau melihat dunia dengan mata hati.
Tanduk Rusa
Kekuatan dan Keuletan
Tanduk rusa melambangkan pertahanan diri dan kekuatan untuk menghadapi tantangan. Dalam filosofi kehidupan, tanduk rusa mencerminkan kemampuan bertahan hidup di tengah tekanan dan kesulitan.
Keberlanjutan dan Regenerasi: Tanduk rusa yang tumbuh kembali setiap tahun menjadi simbol siklus kehidupan, pembaruan, dan harapan. Ini menggambarkan bahwa setiap akhir adalah awal baru.
Keseimbangan
Rusa sering diasosiasikan dengan keanggunan dan ketenangan, sehingga tanduknya melambangkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan.
Sayap Elang
Kebebasan dan Visi
Sayap elang melambangkan kemampuan untuk melampaui batasan dan menjangkau perspektif yang lebih luas. Filosofinya adalah kebebasan berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan tertinggi.
Kecepatan dan Ketajaman
Sayap elang juga menjadi simbol ketepatan dalam bertindak dan efisiensi dalam mengejar mimpi, menekankan pentingnya fokus dan dedikasi.
Ketinggian Spiritual
Dalam banyak tradisi, elang dianggap sebagai makhluk yang dekat dengan langit, melambangkan hubungan antara dunia fisik dan spiritual.
Cakar Elang
Kegigihan dan Kekuatan
Cakar elang mencerminkan ketegasan dan kemampuan untuk mencengkeram peluang atau bertahan dalam situasi sulit.
Keberanian dan Dominasi
Sebagai predator yang tangguh, cakar elang melambangkan keberanian untuk menguasai tantangan hidup.
Tanggung Jawab
Cakar digunakan untuk melindungi dan memberi makan, sehingga melambangkan tanggung jawab dan peran sebagai pelindung atau pemimpin.
Nilai Filosofi yang Terpendam dan Makna Anthropolgisnya
Dalam kajian filosofis, simbol-simbol dari alam sering digunakan untuk merefleksikan nilai-nilai manusia. Tanduk rusa, sayap elang, dan cakar elang merupakan simbol yang kaya makna. Kajian ini bertujuan menggali dan menguraikan nilai-nilai tersebut dalam konteks filsafat kehidupan.
Tanduk Rusa: Filosofi Keuletan dalam Keseimbangan
Tanduk rusa mengajarkan manusia tentang pentingnya daya tahan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan. Filosofi ini menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan—bahwa jatuh bukanlah akhir, melainkan peluang untuk bangkit kembali. Dalam kehidupan sehari-hari, tanduk rusa mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara menghadapi tekanan dan tetap menjaga harmoni.
Sayap Elang: Filosofi Kebebasan dan Perspektif
Sayap elang memberikan pelajaran tentang pentingnya kebebasan dan kemampuan melihat lebih jauh. Dalam konteks ini, filsafat menekankan pentingnya berpikir terbuka dan melampaui batas-batas yang ada. Kebebasan bukan hanya sekadar lepas dari belenggu, tetapi juga kemampuan untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi dan menemukan kebenaran.
Cakar Elang: Filosofi Kegigihan dan Tanggung Jawab
Cakar elang melambangkan tindakan yang tegas dan tanggung jawab dalam kehidupan. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk gigih dalam mengejar tujuan dan tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, dan dunia. Keberanian elang menjadi inspirasi untuk menghadapi ketidakpastian dengan keyakinan dan keteguhan.
Catatan Akhir
Tanduk rusa, sayap elang, dan cakar elang adalah representasi nilai-nilai kehidupan yang mendalam. Tanduk rusa mengajarkan ketahanan dan keseimbangan, sayap elang menggambarkan kebebasan dan visi, sementara cakar elang mencerminkan kegigihan dan tanggung jawab. Filosofi ini, jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dapat menjadi panduan untuk menghadapi tantangan, menjangkau potensi tertinggi, dan bertanggung jawab atas tindakan kita. Dalam keseluruhan hidup manusia, nilai-nilai ini menciptakan harmoni antara kekuatan, kebebasan, dan tanggung jawab.
oleh Yudel Neno, Pr
Penulis : Yudel Neno, Pr
Editor : Tim
Sumber Berita : Observasi Bubursikun