21 November 2019, Kami berdelapan ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Atambua; Mgr. Dominikus Saku, Pr di Aula Dekenat Mena. Hari ini 21 November 2024. Rentang waktu ini mencatat, kalau usia Imamat kami yang ditahbiskan pada saat itu, kini telah mencapai Lima Tahun Imamat.
Saat-saat pertama, pasca tahbisan imam, selalu muncul ; seolah-olah ada yang aneh dengan status yang baru saja dilekatkan oleh Allah melalui Penumpangan Tangan Uskup saat dalam Ekaristi Tahbisan. Rasanya kurang percaya;….ewh…..su jadi Romo betul ni ka……keg…. cepat sekali ya????
Dalam Bulan-bulan tahun pertama itu, ucapan selamat imam baru masih terus berlangsung, kapan saja dan di mana saja. Sukacita tidak hanya oleh keluarga. Sukacita itu pun tumbuh dan berkembang di tengah kesibukan orang-orang yang pernah dikenal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya masih ingat persis, tahun 2019, ketika untuk pertama kalinya, Saya memimpin Perayaan Ekaristi di Satu Lingkungan Stasi Kletek, Paroki Santa Maria Fatima Betun. Urutan Tata Perayaan sepertinya membingungkan. Umat tahu, kalau Romonya masih baru. Barangkali mereka ingin tertawa pada saat itu. Tetapi kalau ada sebagian yang berniat seperti itu, selalu ada lain yang muncul menampilkan keramahan memahami sambil memekikkan semboyan ; Romo…..Jadilah Romo yang Baru untuk selama-lamanya.
Saya memang ingat! Nama Saya Fon, secara homofon, hampir sama dengan kata tetun Foun, yang dalam bahasa Indonesia berarti baru. Maka benar juga, kalau kepada Saya, oleh mereka, dikatakan sekaligus merupakan peringatan bahwa Romo Fon….jadilah Romo yang senantiasa baru. Saya sangat ingat akan itu kalimat ini.
Saat ini, sudah berusia Lima Tahun Imamat. Belum seberapa….dan masih akan terus ….. Perjalanan dari hari ke hari, memberi kontribusi bagi hidup imamat tentang pentingnya langkah-langkah yang perlu dilakukan apabila inginkan sebuah perubahan.
Seringkali terjadi bahwa rasa sukacita, entah secara personal maupun secara bersama, tak selamanya menjadikan hidup imamat menjadi indah. Sukacita, pertama-tama; bukanlah jaminan bagi hidup imamat, apabila proses memulainya tidak mengindahkan Allah; apabila melakukannya justru membawa malapetaka bagi manusia, dan apabila mengakhirinya, menyisakan rasa amarah.
Cinta, ketika berjumpa dengan sukacita, akan menjadikan hidup imamat sebagai anugerah bagi Umat Allah. Sebaliknya, hidup imamat akan berubah wujud menjadi ekslusif, apabila sukacita yang terjadi, bercorak partial ; tanpa integritas dan partisan; tanpa sinodalitas.
Hidup Imamat memang indah, apabila ditenun dalam spiritualitas integritas dan sinodalitas.
Seringkali piring dan sendok berbunyi di kamar makan sebagai dampak padamnya lampu, merupakan suatu gambaran pembelajaran tentang pentingnya kesadaran bahwa hidup justru dapat bertahan dalam dinamika, yang walaupun membingungkan dan bahkan menyakitkan, namun mendewasakan. Benar!! apa kata orang bijak; kehidupan diilhami oleh sebuah puncak, tetapi lembah-lembahlah yang mendewasakan.
Tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan hidup imamat seringkali menemui kesesatan-kesesatan, yang walaupun kecil adanya tetapi dampaknya terasa. Ada saja bahwa langkah kaki terkadang melampaui misi pastoral. Tangan yang terurapi, terkadang menjadi sumber yang menyakitkan bagi anak-anak murid. Kata-kata yang keras dan kasar, terkadang membuat orang merasa sakit bahkan tersayat ibarat luka. Pikiran yang cenderung emosional, malah selalu gagal bermuara di terminal rational. Diskusi yang menginginkan kebenaran sendiri, malah menjadi bom pembelah sinodalitas pastoral.
Semuanya itu merupakan tanda bahwa hidup; memang tidak sempurna. Pada beberapa kunjungan pastoral, fakta pastoral membeberkan refleksi yang harus segera dibathinkan. Mereka yang menanti kedatangan gembala dengan pesona ketulusan, mencirikan universalitas kemanusiaan. Sementara itu, perjumpaan yang diinisiasi oleh kasih, akan mendobrak sekat-sekat sosial; racun perusak cita rasa persekutuan pastoral.
Penulis : Yudel Neno, Pr
Editor : Tim