LopoNTT.com – Dualisme Mafia antara Hukum dan Politik: Ketika Hukum Dihasilkan dalam Ruang Politik dan Ketika Hukum Dipolitisir – OPINI – Rm. Yudel Neno, Pr
Pendahuluan
Dualisme mafia antara hukum dan politik menciptakan tantangan serius bagi integritas sistem hukum di banyak negara. Dalam konteks ini, terdapat dua fenomena utama: hukum yang dihasilkan dalam ruang politik dan hukum yang dipolitisir. Hukum yang dihasilkan dalam ruang politik mencerminkan kepentingan penguasa, sedangkan hukum yang dipolitisir menunjukkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat untuk memanipulasi kekuasaan. Pemahaman yang mendalam tentang dualisme ini sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi praktik mafia hukum. Tulisan ini akan membahas kedua aspek tersebut dengan merujuk pada kajian ilmiah yang relevan.
Hukum yang Dihasilkan dalam Ruang Politik
Hukum seringkali dihasilkan dalam konteks politik, di mana keputusan legislasi dibuat berdasarkan konsensus dan kekuasaan politik. Proses ini sering dipengaruhi oleh lobi, kepentingan bisnis, dan tekanan politik yang kuat. Menurut Friedman (2005), hukum tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan politik di mana ia dihasilkan. Dalam banyak kasus, legislasi yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan aspirasi masyarakat, tetapi lebih pada kepentingan elit yang berkuasa. Ini menciptakan ruang bagi mafia hukum untuk beroperasi dalam sistem yang seharusnya adil dan transparan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hukum sebagai Alat Kekuasaan
Ketika hukum dihasilkan dalam ruang politik, seringkali hukum tersebut digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Politisi dapat memanfaatkan undang-undang untuk menekan lawan politik dan memperkuat posisi mereka. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Foucault (1991), yang menyatakan bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Dalam konteks ini, hukum menjadi sarana untuk mengendalikan masyarakat dan menciptakan ketidakadilan. Maka, hukum yang seharusnya melindungi keadilan justru berfungsi untuk menindas.
Politisasi Hukum
Sementara itu, fenomena hukum yang dipolitisir terjadi ketika proses hukum diintervensi oleh kepentingan politik. Dalam hal ini, keputusan hukum tidak lagi bersifat objektif, tetapi dipengaruhi oleh agenda politik tertentu. Menurut Tamanaha (2008), politisasi hukum menciptakan ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Contoh yang umum terjadi adalah intervensi politik dalam kasus-kasus korupsi, di mana hukum digunakan untuk menutupi kesalahan penguasa. Hal ini mengakibatkan hukum kehilangan otoritas dan legitimasi.
Korupsi dalam Proses Legislasi
Korupsi merupakan salah satu manifestasi dari mafia hukum yang terjadi ketika hukum dihasilkan dalam ruang politik. Praktik suap dan kolusi dapat mengubah arah dan substansi dari undang-undang yang dirumuskan. Menurut hasil penelitian oleh Transparency International (2022), korupsi dalam proses legislasi mengurangi kualitas hukum yang dihasilkan. Hal ini menciptakan undang-undang yang tidak adil dan tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah tegas untuk memerangi korupsi dalam pembuatan hukum.
Keterlibatan Lobi Bisnis
Lobi bisnis sering kali berperan penting dalam mempengaruhi pembuatan hukum. Mereka menggunakan sumber daya dan pengaruh mereka untuk membentuk undang-undang yang menguntungkan kepentingan mereka sendiri. Menurut Lowery dan Gray (2004), lobi dapat merusak proses demokrasi dengan mengalihkan perhatian legislator dari kepentingan publik. Dalam banyak kasus, hukum yang dihasilkan lebih menguntungkan perusahaan besar daripada masyarakat luas. Dengan demikian, lobi bisnis berkontribusi pada dualisme mafia hukum dalam politik.
Resistensi Terhadap Hukum yang Dipolitisir
Salah satu cara untuk melawan hukum yang dipolitisir adalah dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Menurut Smith (2010), transparansi dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Masyarakat perlu memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi terkait pembuatan dan implementasi undang-undang. Dengan demikian, individu dan organisasi dapat berperan aktif dalam mengawasi dan memberikan masukan. Ini juga akan membantu meminimalkan kemungkinan politisasi hukum yang merugikan.
Penguatan Peran Lembaga Pengawas
Penguatan lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman, sangat penting dalam menanggulangi mafia hukum. Lembaga-lembaga ini memiliki wewenang untuk menyelidiki praktik ilegal dalam pembuatan undang-undang. Menurut Rauterberg dan Markovits (2014), lembaga pengawas yang kuat dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga integritas sistem hukum. Dengan dukungan yang memadai, lembaga ini dapat berfungsi sebagai benteng terhadap mafia hukum. Oleh karena itu, reformasi dalam lembaga pengawas perlu menjadi prioritas.
Kesadaran Masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hukum dan politik juga merupakan kunci untuk memerangi mafia hukum. Pendidikan hukum yang baik akan membantu masyarakat memahami hak-hak mereka dan cara kerja sistem hukum. Menurut Bowers dan Mendez (2016), masyarakat yang teredukasi lebih mampu berpartisipasi dalam proses politik dan hukum. Dengan pemahaman yang baik, mereka dapat lebih aktif mengawasi dan melaporkan praktik mafia hukum. Ini akan menciptakan masyarakat yang lebih kritis dan partisipatif.
Hukum sebagai Cermin Nilai
Hukum seharusnya mencerminkan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat. Ketika hukum dihasilkan dalam ruang politik, hal ini sering kali tidak terjadi. Menurut Durkheim (1984), hukum merupakan cerminan dari norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat. Jika proses pembuatan hukum dikendalikan oleh kepentingan politik semata, maka hukum akan kehilangan makna dan tujuannya. Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan hukum pada fungsi aslinya sebagai pelindung keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Keterbukaan Proses Legislasi
Keterbukaan dalam proses legislasi juga perlu diutamakan untuk mencegah mafia hukum. Proses pembuatan undang-undang harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik. Menurut Carothers (2006), keterlibatan publik dalam pembuatan undang-undang dapat menghasilkan hukum yang lebih akuntabel dan responsif. Dengan melibatkan masyarakat, diharapkan undang-undang yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Hal ini akan mengurangi ruang bagi mafia hukum untuk beroperasi.
Reformasi Sistem Politik
Reformasi sistem politik diperlukan untuk mengurangi pengaruh mafia hukum dalam pembuatan hukum. Ini mencakup pengaturan yang lebih ketat tentang pendanaan politik dan transparansi dalam kampanye. Menurut Norris (2017), sistem politik yang transparan akan mengurangi korupsi dan meningkatkan akuntabilitas. Dengan sistem yang lebih baik, diharapkan partai politik dan legislator dapat lebih fokus pada kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi. Reformasi ini menjadi langkah penting untuk memperbaiki kondisi hukum di negara ini.
Kesimpulan
Dualisme mafia antara hukum dan politik menciptakan tantangan yang kompleks bagi integritas sistem hukum. Hukum yang dihasilkan dalam ruang politik sering kali mencerminkan kepentingan penguasa, sedangkan hukum yang dipolitisir menunjukkan manipulasi proses hukum. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret seperti meningkatkan transparansi, penguatan lembaga pengawas, dan pendidikan masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan mafia hukum dapat diminimalkan dan hukum dapat berfungsi secara adil. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan politik dapat dipulihkan.
Disadur dan Ditulis oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Daftar Pustaka
1. Bowers, A. & Mendez, J. (2016). “Educating Citizens: The Role of Civic Education in Society.” Journal of Civic Education.
2. Carothers, T. (2006). “The Quality of Democracy: A Conceptual Framework.” Democratization.
3. Durkheim, E. (1984). “The Division of Labor in Society.” Free Press.
4. Foucault, M. (1991). “Discipline and Punish: The Birth of the Prison.” Vintage Books.
5. Friedman, L. M. (2005). “The Legal System: A Social Science Perspective.” Law and Society Review.
6. Lowery, D. & Gray, V. (2004). “A Neopluralist Perspective on the Interest Group System.” Perspectives on Politics.
7. Norris, P. (2017). “Strengthening Electoral Integrity.” Cambridge University Press.
8. Rauterberg, G. & Markovits, D. (2014). “The Role of Independent Regulatory Agencies in the Political Economy of Regulation.” American Economic Journal.
9. Tamanaha, B. Z. (2008). “Understanding Legal Pluralism: An Essay on Method and Context.” The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law.
10. Transparency International. (2022). “Corruption Perceptions Index.”
Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr
Editor : Tim