Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial dan Penggunaannya serta Kritik terhadap Tujuh Dosa Pokok Media Menurut Paul Johnson

- Penulis

Senin, 30 Desember 2024 - 03:12 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

LopoNTT.comRefleksi Filosofis Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial dan Penggunaannya serta Kritik terhadap Tujuh Dosa Pokok Media Menurut Paul Johnsonoleh Yudel Neno, Pr

Siapa itu Paul Johnson

Paul Johnson adalah Seorang Sejarawan, Penulis, dan Jurnalis asal Inggris yang dikenal luas karena karya-karyanya yang mendalam dan sering kali kontroversial. Dia lahir pada 2 November 1928 dan meninggal pada 12 Januari 2023. Johnson terkenal karena gaya penulisannya yang hidup, analisisnya yang tajam, dan pandangannya yang cenderung konservatif dalam politik dan sejarah

Media Sosial antara Fakta dan Idealnya

Media sosial dan teknologi komunikasi modern telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat kontemporer. Peran media dalam menyampaikan informasi, membentuk opini publik, dan menciptakan budaya global tak dapat disangkal. Dalam konteks ini, media mencerminkan das sein (realitas positif), yaitu keberadaan faktual dan potensinya sebagai alat untuk membangun komunitas dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, peran tersebut juga disertai dengan berbagai permasalahan etis dan moral yang mencerminkan penyalahgunaan media sebagai alat manipulasi, eksploitasi, dan perpecahan. Fenomena seperti distorsi informasi, eksploitasi privasi, penyebaran kebencian, dan pengaruh negatif terhadap anak-anak menunjukkan bagaimana media, yang seharusnya menjadi sarana kebenaran, sering kali menyimpang dari fungsi idealnya (das sein negatif).

Dalam kaitannya dengan permasalaha etis-moral penggunaan media komunikasi sosial, Paul Johnson mengidentifikasi tujuh dosa pokok media, yaitu distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, pelanggaran privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, racun bagi pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power). Identifikasi Paul Johnson ini mencerminkan lemahnya tanggung jawab moral media terhadap masyarakat.

Sementara itu, berdasarkan pandangan dalam ajaran Gereja Katolik, dikemukakan peluang dan tantangan tentang penggunaan media sosial. Gereja memandang bahwa media sosial memiliki potensi besar untuk menjadi sarana pewartaan kebenaran, penguatan nilai-nilai moral, dan pembangunan martabat manusia. Pandangan ini nampak dalam beberapa Dokumen seperti Inter Mirifica, Communio et Progressio, dan Ethics in Internet dan Ethics in Communication dan Aetatis Novae menegaskan bahwa media harus digunakan untuk memperkuat keadilan, kebenaran, dan kasih. Media memiliki tanggung jawab untuk menghormati martabat manusia, menyampaikan informasi yang akurat, dan tidak memanipulasi atau merusak masyarakat (das sollen).

Gereja menyerukan penggunaan media yang etis dan bertanggung jawab sebagai tanggapan atas realitas dosa-dosa media yang diidentifikasi oleh Paul Johnson. Ajaran Gereja menekankan perlunya kejujuran, penghormatan terhadap privasi, dan tanggung jawab moral dalam menggunakan media. Hal ini mencerminkan panggilan untuk melibatkan media dalam membangun tatanan sosial yang adil, bermoral, dan mendukung kebaikan bersama (das sollen).

Dengan mengintegrasikan perspektif teologis dan filosofis, catatan ini akan memberikan refleksi mendalam tentang tanggung jawab moral media dalam masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi seruan kepada pelaku media dan masyarakat untuk kembali pada prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kasih yang menjadi inti dari ajaran Gereja Katolik.

Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial

Gereja Katolik melihat media sebagai sarana yang memiliki potensi untuk menyampaikan kebenaran, mendidik masyarakat, dan memperkuat martabat manusia.

Di bawah ini kita akan melihat bagaimana pandangan Gereja melalui Dokumen Resmi Gereja Katolik tentang media sosial dan penggunaannya, sembari memperlihatkan catatan kritis yang menegaskan tentang pentingnya waspada, selektif dan pembenahan dalam akses penggunaan media sosial.

Dekrit Inter Mirifica tentang Media Komunikasi Sosial dalam Dokumen Konsili Vatikan II, 1963

Pada nomor artikel 9-11 dalam Dokumen ini, ditegaskan tentang pentingnya penggunaan media sosial untuk membangun kebaikan moral, mendidik masyarakat, dan memperkuat martabat manusia, bukan untuk menyebarkan kejahatan atau nilai-nilai yang merendahkan. Dalam nomor artikel 9, dibeberkan catatan kritis tentang media sosial sebagai produsen bagi kerugian rohani apabila tidak mengutamakan kebenaran dalam pemberitaan.

Instruksi Pastoral Communio et Progressio tentang Media Komunikasi Sosial, 1971

Pada nomor artikel 19-22, Dokumen ini secara khusus menekankan tentang pentingnya kejujuran, objektivitas, dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam penyampaian informasi melalui media. Artikel 19 mencatat bahwa media sosial harus digunakan sebagai ruang dan sarana untuk membangun dialog, persaudaraan dan kerja sama, bukan sebaliknya. Artikel 20 mencatat tentang pentingnya media sosial sebagai alat bantuan efektif untuk meningkatkan kebebasan sejati manusia tanpa diskriminasi. Publikasi tanpa diskriminasi, akan memproduksi pengetahuan objektif dan kenyataan positif yang dapat menunjang peradaban manusia.

Ethics in Internet – Dokumen Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 2002

Pada nomor artikel 1, 4-8 dalam Dokumen ini, dibeberkan uraiannya tentang pentingnya etika dalam penggunaan internet, termasuk tanggung jawab moral untuk tidak menyebarkan disinformasi, menghormati privasi, dan menghindari eksploitasi yang merusak moral.

Artikel 1 mencatat bahwa selain sisi positif dari penggunaan media sosial melalui internet, ada sisi lain dari mata uang logam. Sarana komunikasi sering kali dipakai untuk mengeksploitasi, memanipulasi, menguasai dan korupsi.

Artikel 4 menegaskan tentang pentingnya solidaritas dalam komunitas komunikasi sosial ketika menggunakan sarana komunikasi sosial. Hanya dalam semangat solidaritas, kesejahteraan umum dapat tercapai.

Artikel 5 mencatat dan sekaligus mengakui peran kesejahteraan sarana komunikasi sosial dalam menjembatani globalisasi dengan memudahkan dan menghadirkan akses informasi. Hal ini dilihat sebagai suatu kemajuan dan bahkan diakui perannya dalam menunjang persatuan sosial terbesar. Namun tetap diberikan landasan teologis bahwa hal itu hanya dapat terlaksana apabila mengabdi pada kebenaran dan tergerak oleh semangat solidaritas.

Instruksi Pastoral Aetatis Novae – untuk Komunikasi Sosial, 1991

Aetatis Novae (No. 17) mengingatkan bahwa pengguna media memiliki tanggung jawab untuk menghindari penyebaran informasi palsu dan perlu mempromosikan integritas serta menjunjung tinggi martabat manusia sebagai subjek informasi dan bukan sebagai objekNamun pada artikel 19, Dokumen ini kembali mengingatkan bahwa subjek yang dimaksud, bukanlah individualisme yang mementingkan diri tanpa peduli dengan orang lain. Melainkan diberikan catatan kritis bahwa akses media sosial sering kali terjebak dalam cita rasa individualisme dan isolasi sosial…dan karena itu, dapat mengurangi kualitas interaksi manusia jika tidak digunakan dengan bijak (Aetatis Novae, No. 19).

Etika dalam Komunikasi – Dokumen Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 2000

Nomor 6 dalam Dokumen ini mencatat bahwa komunikasi sosial memiliki kekuatan sangat luar biasa untuk memajukan kebahagiaan bagi manusia tanpa pretensi polarisasi panorama tampilan semata. Point ini ditegaskan dengan titik tolak pemikiran bahwa media seharusnya; kehadirannya dipergunakan untuk menghormati pribadi-pribadi manusia, dan bukan sebaliknya mengeksploitasi dan mendiskreditkan manusia.

Sementara pada nomor artikel 13, ditegaskan bahwa media sosial sering kali melanggar kesejahteraan pribagi dalam akses komunikasi sosial. Dokumen ini memperlihatkan bahwa media juga dapat digunakan untuk memutuskan komunikasi dan merugikan kesejahteraan pribadi seutuhnya: dengan mengucilkan orang atau memojokkan dan mengasingkan mereka, menarik mereka ke dalam komunitas-komunitas yang bobrok yang terorganisir, nilai-nilai yang merusak; memupuk permusuhan dan konflik, mengutuk orang lain dan menciptakan mentalitas “kami” melawan “mereka”; menyajikan apa yang rendah dan membikin merosot dengan secara glamour, sementara itu meremehkan atau tidak mau mengakui apa yang meningkatkan dan meluhurkan; menyebarkan informasi yang keliru dan tidak memberikan informasi, merangsang persaingan dan tindakan yang kasar. Memberikan cap tertentu berdasarkan ras serta etnis, seks dan umur serta faktor-faktor lain termasuk agama adalah suatu hal yang biasa dalam media, dan ini sangat menyedihkan. Kerap kali juga komunikasi sosial mengabaikan apa yang sesungguhnya baru dan penting, termasuk kabar gembira dari Injil, dan meng-konsentrasikan diri pada hal-hal yang sedang menjadi mode atau yang aneh-aneh.

Ensiklik Laudato Si’ tentang Perawatan Rumah Bersama, Paus Fransiskus, 2015

Dokumen ini juga berbicara tentang pentingnya komunikasi dalam memajukan dunia, tempat kita tinggal. Secara khusus dalam artikel nomor 47, 79, 215, Paus Fransiskus berbicara tentang pentingnya komunikasi yang harus dirawat sebagai wujud sinodalitas, termasuk komunikasi dalam media sosial.

Artikel-artikel di atas membeberkan catatan tentang bagaimana media digital dapat menciptakan polarisasi dan menyebarkan informasi yang tidak bertanggung jawab, serta menyerukan perlunya “ekologi komunikasi” yang sehat.

Dalam artikel 47; Paus Fransiskus mencatat bahwa dinamika media massa dan dunia digital di tengah keramaian dan kebisingan informasi, menciptakan kemerosotan yang membingungkan, dan seringkali lebih peduli pada perasaan artifisial dengan mengutamakan penampilan layar dan click, daripada nilai personal natural.

Sementara pada artikel nomor 79, dicatat dengan pentingnya komunikasi terbuka satu sama lain. Bahwasannya komunikasi yang terbuka satu sama lain, merupakan partisipasi nyata dalam kehendak Allah. Komunikasi yang terbuka satu sama lain menandai kebebasan manusia, dan merupakan sumber kontribusi cerdas bagi perkembangan positif.

Pada nomor artikel 215, Paus Fransiskus memperingatkan media agar waspada terhadap bahaya konsumerismta. Paus mencatat bahwa konsumerisme sebagai produk media komunikasi sosial sering kali menggunakan sistem cara kerja pasar…dan karena itu akan lebih memperhitungkan akselerasi distribusi melalui click, tampilan dan share daripada memperhatikan pentingnya keindahan dalam komunikasi dan kebenaran dalam isi komunikasi.

Sumbangan Pemikiran Paus Fransiskus tentang Ekologi Komunikasi

Beberapa catatan kritis di bawah ini, penting untuk kita simak!

Media Digital dan Polarisasi – dalam artikel 47 Laudato Si’

Paus Fransiskus mengkritik bagaimana media digital sering kali menyebabkan polarisasi, penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab, dan pengaruh negatif pada hubungan manusia. Beliau menyerukan perlunya “ekologi komunikasi”, yaitu lingkungan komunikasi yang sehat, di mana media digunakan untuk mendukung dialog, penghormatan, dan solidaritas.

“Media digital dapat mengekspos kita pada risiko komunikasi yang hanya bersifat permukaan, sering kali mendorong polarisasi dan menghambat dialog yang mendalam.”

Budaya Komunikasi yang Sehat – dalam artikel 205 Laudato Si’

Paus menekankan pentingnya komunikasi yang berorientasi pada dialog dan kebaikan bersama. Dalam konteks media, ini berarti mendorong keterbukaan dan saling pengertian, bukan manipulasi atau eksploitasi.

“Budaya yang sehat adalah budaya komunikasi dan penerimaan, di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk berbagi pandangan dan mengembangkan kebajikan bersama.”

Ekologi Integral – dalam artikel 139 Laudato Si’

Paus memperkenalkan konsep ekologi integral, yang mencakup hubungan manusia dengan sesama, lingkungan, dan teknologi. Media dan komunikasi adalah bagian dari ekosistem ini, yang harus dikelola dengan bijak agar mendukung martabat manusia dan keharmonisan sosial.

 “Ekologi integral mencakup dimensi manusia dan sosial yang tak terpisahkan dari kepedulian terhadap lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.”

Konteks Ekologi Komunikasi dalam Ajaran Gereja

Konsep ekologi komunikasi yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menyentuh beberapa isu penting dan strategis.

Kejujuran dan Akurasi Informasi : Media harus digunakan untuk menyampaikan kebenaran, bukan manipulasi atau disinformasi. Hal ini relevan dengan tujuh dosa media yang diidentifikasi oleh Paul Johnson.

Pola Konsumsi Media yang Seimbang : Paus mendorong refleksi tentang bagaimana media dapat memengaruhi hubungan sosial, spiritualitas, dan tanggung jawab moral kita terhadap sesama.

Penguatan Dialog dan Solidaritas : Media harus mempromosikan dialog yang mendalam dan menghormati martabat manusia, bukan menciptakan konflik atau memperparah perpecahan.

Melalui Laudato Si’, Paus Fransiskus memberikan landasan teologis dan moral untuk memahami pentingnya ekologi komunikasi. Konsep ini mengingatkan kita bahwa media adalah bagian dari ekosistem sosial dan spiritual yang lebih besar, yang harus digunakan untuk membangun dialog, kebenaran, dan kebaikan bersama. Kritik terhadap penyalahgunaan media, seperti yang dirangkum oleh Paul Johnson, sejalan dengan panggilan Paus Fransiskus untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Analisis Tujuh Dosa Pokok Media dalam Terang Ajaran Gereja

Dosa Pertama : Distorsi Informasi

Distorsi Informasi oleh Media: Dampak dan Pandangan Gereja

Media memiliki peran sentral dalam membentuk opini publik dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi penyimpangan, seperti penyajian informasi yang tidak akurat atau manipulasi fakta demi mendukung agenda tertentu—baik itu pandangan politik, ideologi, maupun kepentingan komersial. Praktik ini menciptakan disinformasi yang tidak hanya membingungkan publik tetapi juga merugikan masyarakat dan mengikis kepercayaan terhadap media.

Distorsi informasi dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari penyembunyian fakta penting, penggambaran yang tidak proporsional, hingga penggunaan bahasa yang manipulatif. Hal ini tidak hanya melanggar etika jurnalistik tetapi juga berdampak buruk pada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan objektif.

Pandangan Gereja: Media Sebagai Sarana Kebenaran

Gereja Katolik melalui dokumen Inter Mirifica (11) menegaskan bahwa media komunikasi memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran secara objektif. Media tidak boleh memanipulasi fakta atau menggunakan informasi untuk tujuan yang bertentangan dengan keadilan dan kebaikan bersama. Informasi yang disampaikan seharusnya mendukung pencarian kebenaran dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.

Kritik Filosofis dan Teologis

Praktik distorsi informasi bertentangan dengan prinsip teologis Veritas (kebenaran), yang merupakan salah satu atribut utama Allah. Dalam konteks ini, manipulasi fakta oleh media menjadi dosa terhadap kebenaran, yang merusak keadilan dan integritas masyarakat. Secara filosofis, distorsi ini juga melanggar hak publik untuk memperoleh informasi yang benar dan seimbang, yang merupakan elemen esensial dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, media seharusnya berfungsi sebagai penjaga kebenaran, bukan alat manipulasi. Ketika media melaksanakan tanggung jawabnya secara jujur dan adil, ia tidak hanya membangun kepercayaan masyarakat tetapi juga turut memperkuat nilai-nilai moral dan sosial yang mendukung tatanan dunia yang lebih baik.

Dosa Kedua : Dramatisasi Fakta Palsu

Sensasi Berlebihan dalam Media: Dampak dan Perspektif Gereja

Dalam era modern, media sering kali menggunakan strategi sensasionalisme untuk menarik perhatian audiens. Peristiwa sederhana kerap dilebih-lebihkan atau diubah menjadi drama yang berfokus pada aspek emosional, bukan pada inti permasalahan. Akibatnya, berita yang seharusnya menjadi medium edukasi dan informasi penting berubah menjadi tontonan yang hanya mengejar perhatian publik.

Praktik ini tidak hanya menyesatkan masyarakat tetapi juga memiliki dampak serius, seperti menciptakan kepanikan, ketakutan, atau salah persepsi yang meluas. Ketika isu yang relevan tergeser oleh konten yang dramatis dan dangkal, media kehilangan fungsi utamanya sebagai penyedia informasi yang obyektif dan terpercaya.

Pandangan Gereja: Menjaga Etika Komunikasi

Gereja Katolik melalui dokumen Ethics in Internet (4) secara tegas mengecam praktik sensasionalisme dalam media. Penggunaan konten yang bersifat dramatis tanpa dasar fakta dianggap sebagai penyimpangan dari etika komunikasi. Media memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan informasi yang benar dan tidak menyalahgunakan kepercayaan publik dengan manipulasi yang merugikan.

Kritik Filosofis dan Teologis

Dramatisasi yang berlebihan melanggar kebijaksanaan (virtus prudentiae), yaitu kebajikan moral yang menuntun seseorang untuk bertindak dengan benar berdasarkan akal sehat dan pertimbangan yang matang. Manipulasi semacam ini juga menyalahgunakan emosi publik demi keuntungan tertentu, sehingga menciptakan ketidakpercayaan yang merusak hubungan antara media dan masyarakat.

Selain itu, praktik ini bertentangan dengan prinsip etika komunikasi yang sehat, yang seharusnya didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Ketika media gagal memenuhi standar ini, mereka tidak hanya melukai integritas informasi tetapi juga mengikis nilai-nilai moral yang menopang kehidupan bersama.

Media seharusnya menjalankan perannya dengan menjunjung tinggi etika komunikasi. Daripada mengejar sensasi, media harus berkomitmen untuk menyampaikan fakta secara obyektif dan mendidik masyarakat. Dengan demikian, media tidak hanya membangun kepercayaan tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang bijaksana dan beretika.

Dosa Ketiga : Mengganggu (Invasi) Privasi

Pelanggaran Privasi oleh Media: Tantangan Etis dan Perspektif Gereja

Dalam persaingan untuk memperoleh berita eksklusif, media sering kali melanggar privasi individu. Baik terhadap tokoh publik maupun masyarakat biasa, praktik tidak etis seperti penyadapan, penyusupan, atau penyebaran informasi pribadi tanpa izin telah menjadi hal yang lazim. Pendekatan semacam ini sering kali berdampak buruk, seperti merusak reputasi, menghilangkan martabat, dan mengganggu kehidupan pribadi korban.

Fenomena ini menunjukkan penyimpangan dari tugas utama media, yaitu memberikan informasi yang relevan tanpa mengorbankan hak asasi manusia. Ketika privasi seseorang dilanggar demi kepentingan sensasionalisme atau keuntungan komersial, media tidak hanya melukai individu yang bersangkutan tetapi juga menciptakan iklim ketidakpercayaan di masyarakat.

Pandangan Gereja: Privasi Sebagai Hak yang Harus Dilindungi

Gereja Katolik melalui dokumen Communio et Progressio (22) menegaskan pentingnya penghormatan terhadap privasi individu. Privasi dianggap sebagai elemen esensial dari martabat manusia, yang harus dihormati oleh semua pihak, termasuk media. Media tidak boleh melanggar batas-batas moral dengan cara yang merendahkan martabat manusia atau melukai hak seseorang untuk menjalani kehidupan pribadi yang bebas dari gangguan.

Kritik Filosofis dan Teologis

Invasi privasi merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia sebagai Imago Dei (citra Allah), yang mengajarkan bahwa setiap individu memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati. Secara filosofis, tindakan ini juga melanggar prinsip etika hubungan antarindividu, yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap kebebasan dan hak asasi.

Pelanggaran privasi juga mengabaikan prinsip keadilan dan kasih, yang menjadi landasan hubungan sosial yang harmonis. Ketika media memanfaatkan informasi pribadi seseorang tanpa izin, mereka tidak hanya melakukan ketidakadilan tetapi juga menciptakan luka sosial yang sulit diperbaiki.

Media memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas moral dan sosial. Privasi individu harus dipandang sebagai hak mendasar yang tidak boleh dilanggar demi kepentingan apapun. Dengan mematuhi standar etika yang menghormati martabat manusia, media dapat berperan sebagai alat pembaruan sosial yang mendukung keadilan, kebenaran, dan penghormatan terhadap kebebasan individu.

Dosa Keempat : Pembunuhan Karakter

Pembunuhan Karakter oleh Media: Penyalahgunaan Kekuatan dan Perspektif Gereja

Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Namun, kekuatan ini tidak jarang disalahgunakan untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap individu atau kelompok tertentu. Praktik ini biasanya dilakukan melalui tuduhan tidak berdasar, pemberitaan negatif yang berulang, atau penggambaran yang sengaja memojokkan pihak tertentu. Dalam banyak kasus, orang yang menjadi sasaran tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sehingga reputasi dan martabat mereka hancur secara permanen.

Fenomena ini tidak hanya menunjukkan penyalahgunaan media tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial. Media yang seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan malah menjadi alat yang merusak integritas seseorang demi kepentingan tertentu.

Pandangan Gereja: Media Harus Menjunjung Martabat dan Integritas

Gereja Katolik melalui dokumen Inter Mirifica (11) dengan tegas mengecam penggunaan media untuk menyerang reputasi individu. Media memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga martabat manusia dan tidak boleh menjadi sarana penyebaran kebencian atau penghancuran karakter. Setiap orang, terlepas dari status atau latar belakangnya, memiliki hak untuk dihormati dan diperlakukan secara adil dalam pemberitaan.

Kritik Teologis dan Filosofis

Pembunuhan karakter merupakan dosa terhadap kasih (caritas) dan keadilan (iustitia), dua kebajikan utama dalam ajaran Kristiani. Kasih menuntut penghormatan terhadap sesama sebagai ciptaan Allah, sementara keadilan mengharuskan perlakuan yang adil dan benar terhadap semua orang. Ketika media melakukan serangan terhadap reputasi seseorang, mereka tidak hanya melanggar prinsip moral ini tetapi juga menciptakan luka sosial yang sulit dipulihkan.

Secara teologis, tindakan ini bertentangan dengan panggilan Kristiani untuk menghormati martabat setiap individu sebagai Imago Dei (citra Allah). Filosofisnya, pembunuhan karakter merusak tatanan etis masyarakat yang mengutamakan kebenaran, keadilan, dan solidaritas.

Media seharusnya menjadi penjaga integritas dan martabat manusia, bukan alat penghancur karakter. Dengan menjunjung tinggi kasih dan keadilan, media dapat berperan sebagai sarana pembaruan sosial yang mendukung keharmonisan dan kepercayaan di masyarakat. Pembunuhan karakter, dalam bentuk apapun, harus dikecam sebagai penyimpangan etika yang merugikan individu dan komunitas secara keseluruhan.

Dosa Kelima : Eksploitasi Seks

Eksploitasi Seksualitas oleh Media: Tantangan Etis dan Perspektif Gereja

Media modern sering menggunakan seksualitas secara eksplisit sebagai alat untuk menarik perhatian. Baik melalui berita, iklan, maupun hiburan, eksploitasi seksual kerap menjadi strategi untuk meningkatkan popularitas atau keuntungan komersial. Pendekatan ini tidak hanya merendahkan martabat manusia tetapi juga mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan moralitas, seperti objektifikasi tubuh manusia—terutama perempuan—yang dipandang sebagai alat, bukan sebagai pribadi yang bermartabat.

Praktik ini menunjukkan penyimpangan dari tanggung jawab media sebagai sarana edukasi dan pemberi informasi. Alih-alih mempromosikan nilai-nilai luhur, eksploitasi seksual malah memperkuat pandangan materialistik yang merendahkan manusia menjadi sekadar objek konsumsi.

Pandangan Gereja: Menjunjung Martabat Manusia

Gereja Katolik melalui dokumen Ethics in Internet (5) dengan tegas mengecam segala bentuk objektifikasi manusia, terutama dalam eksploitasi seksual. Gereja memandang tubuh manusia sebagai bagian integral dari martabat pribadi yang diciptakan menurut Imago Dei (citra Allah). Eksploitasi seksual dalam media adalah pelanggaran serius terhadap nilai ini, karena merendahkan manusia menjadi alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi atau hiburan.

Kritik Teologis dan Filosofis

Eksploitasi seksual bertentangan dengan ajaran Paulus dalam 1 Korintus 6:19, yang menyatakan bahwa tubuh manusia adalah bait Roh Kudus. Tubuh bukanlah benda yang dapat dipermainkan atau diperdagangkan, melainkan bagian dari martabat manusia yang harus dihormati.

Secara filosofis, eksploitasi seksual melanggar prinsip personalisme, yang menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai subjek yang memiliki martabat, bukan sebagai objek. Praktik ini menghilangkan nilai intrinsik manusia, menggantikannya dengan nilai instrumental yang bergantung pada daya tarik fisik semata.

Media memiliki tanggung jawab moral untuk menghormati martabat manusia dalam segala bentuk komunikasi. Penggunaan seksualitas sebagai alat eksploitasi harus dihindari karena bertentangan dengan prinsip moral dan etika. Sebaliknya, media harus mempromosikan nilai-nilai yang membangun martabat, integritas, dan penghormatan terhadap manusia sebagai pribadi yang utuh. Dengan demikian, media dapat berperan sebagai sarana yang mendukung kebaikan bersama dan kehidupan bermartabat.

Dosa Keenam : Meracuni Pikiran Anak-Anak

Dampak Konten Negatif Media terhadap Anak-Anak: Tantangan dan Pandangan Gereja

Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk nilai-nilai dan pola pikir generasi muda. Namun, kurangnya pengawasan dan regulasi terhadap konten tidak pantas—seperti kekerasan, pornografi, dan perilaku antisosial—membuat anak-anak rentan terhadap dampak buruk media. Konten semacam ini tidak hanya merusak mental dan moral anak-anak tetapi juga menghambat perkembangan sosial mereka, menciptakan generasi yang terpapar nilai-nilai negatif sejak usia dini.

Situasi ini menunjukkan kegagalan media dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai sarana pendidikan dan pembentukan karakter yang positif. Ketika konten yang merusak menjadi mudah diakses, media tidak hanya mencederai hak anak-anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat tetapi juga berkontribusi pada degradasi nilai-nilai moral dalam masyarakat.

Pandangan Gereja: Regulasi untuk Melindungi Anak-Anak

Gereja Katolik melalui dokumen Inter Mirifica (12) menekankan pentingnya regulasi dan pengawasan terhadap konten media untuk melindungi anak-anak dari pengaruh buruk. Gereja mengakui bahwa anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan bimbingan yang sesuai dengan tahap perkembangan mereka, yang bebas dari paparan konten yang merusak. Dalam hal ini, keluarga, masyarakat, dan pemerintah memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa media tidak menjadi ancaman bagi kesejahteraan generasi muda.

Kritik Teologis dan Filosofis

Penyebaran konten negatif kepada anak-anak bertentangan dengan panggilan Kristiani untuk melindungi dan menghormati martabat anak-anak, seperti yang ditegaskan oleh Yesus dalam Matius 18:6: “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya dan ia ditenggelamkan ke dalam laut yang dalam.” Ayat ini menegaskan kewajiban moral untuk menjaga anak-anak dari segala bentuk kerusakan.

Secara filosofis, membiarkan anak-anak terpapar konten negatif melanggar tanggung jawab sosial untuk membentuk generasi muda yang sehat secara mental, moral, dan emosional. Hal ini juga menunjukkan kegagalan dalam prinsip subsidiaritas, di mana institusi yang lebih besar (seperti media) seharusnya mendukung, bukan merusak, fungsi pendidikan yang dijalankan oleh keluarga dan komunitas lokal.

Media memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif konten yang tidak pantas. Dengan regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif, media dapat berperan sebagai alat pembentukan nilai-nilai positif dan moralitas yang tinggi. Melindungi anak-anak dari konten merusak bukan hanya kewajiban moral tetapi juga tanggung jawab bersama untuk menciptakan generasi yang lebih baik dan bermartabat.

Dosa Ketujuh : Penyalahgunaan Kekuasaan

Penyalahgunaan Kekuasaan Media: Dampak terhadap Masyarakat dan Perspektif Gereja

Media memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik dan memengaruhi kebijakan. Dalam idealnya, media berfungsi sebagai pengawas independen yang bertugas menyampaikan informasi yang jujur, obyektif, dan relevan bagi masyarakat. Namun, kekuatan ini sering disalahgunakan untuk mendukung agenda tertentu, baik politik, ekonomi, maupun ideologis. Penyalahgunaan ini tidak hanya mengkhianati kepercayaan publik tetapi juga merusak tatanan sosial dengan memperburuk polarisasi dan memperlemah keadilan.

Ketika media menjadi alat propaganda atau kepentingan kelompok tertentu, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang obyektif dan relevan. Akibatnya, ketidaksetaraan informasi semakin meluas, menciptakan masyarakat yang kurang terinformasi atau bahkan terpolarisasi oleh informasi yang bias.

Pandangan Gereja: Media sebagai Pelayan Kebaikan Bersama

Gereja Katolik melalui ensiklik Laudato Si’ (47) mengkritik penyalahgunaan media untuk kepentingan politik atau ideologis yang memperburuk polarisasi di masyarakat. Media dipanggil untuk melayani bonum commune (kebaikan bersama), bukan untuk memperkuat perpecahan atau melayani kepentingan segelintir pihak. Informasi yang disampaikan media harus mendorong persatuan, dialog, dan pemahaman yang mendalam akan isu-isu yang memengaruhi kehidupan bersama.

Kritik Teologis dan Filosofis

Penyalahgunaan kekuasaan media bertentangan dengan prinsip bonum commune, yaitu tujuan moral yang mengutamakan kesejahteraan semua pihak dalam masyarakat. Media yang hanya berfokus pada kepentingan politik atau ekonomi tertentu mengabaikan tanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial melalui informasi yang merata dan obyektif.

Secara filosofis, ketidaksetaraan informasi yang dihasilkan dari penyalahgunaan media memperlemah fondasi keadilan sosial. Dalam masyarakat yang sehat, setiap individu memiliki hak untuk menerima informasi yang benar, seimbang, dan dapat dipercaya. Ketika media gagal memenuhi tanggung jawab ini, mereka berkontribusi pada erosi kepercayaan publik, memperparah ketimpangan sosial, dan merusak dialog yang konstruktif di masyarakat.

Media memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik dan memengaruhi kebijakan. Untuk itu, media harus memprioritaskan kejujuran, obyektivitas, dan keberpihakan pada kebaikan bersama di atas agenda politik atau ideologis tertentu. Dengan demikian, media dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan dan menciptakan masyarakat yang lebih adil, terbuka, dan sejahtera. Penyalahgunaan kekuatan media adalah pelanggaran serius terhadap tanggung jawab moral, dan harus dihindari demi menjaga kepercayaan publik serta memajukan nilai-nilai bersama.

Relevansi Kritik Paul Johnson di Era Digital

Pandangan Paul Johnson tentang tujuh dosa media tetap relevan, terutama di era digital yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan arus informasi yang bergerak cepat. Media sosial, sebagai platform baru untuk konsumsi informasi, sering kali memperburuk dosa-dosa ini. Distorsi informasi, dramatisasi, dan bias ideologis menjadi semakin umum, memperparah polarisasi dan konflik dalam masyarakat.

Sebagai contoh, algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten sensasional untuk meningkatkan keterlibatan pengguna, tanpa memedulikan akurasi atau dampak moralnya. Selain itu, privasi pengguna sering kali dilanggar melalui pengumpulan data yang tidak transparan dan penyebaran informasi pribadi tanpa izin.

Melalui kritiknya, Paul Johnson menekankan bahwa media memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menyampaikan informasi yang akurat, jujur, dan bermoral. Sayangnya, dengan adanya tujuh dosa pokok ini, media sering kali gagal menjalankan tugas tersebut, sehingga merugikan masyarakat secara luas. Kritik Johnson menjadi pengingat penting akan perlunya etika jurnalisme dan pengawasan yang lebih ketat terhadap media di era modern.

Dengan memahami dosa-dosa ini, baik konsumen media maupun pelaku industri dapat lebih kritis dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan dunia informasi yang semakin kompleks. Reformasi media harus dilakukan untuk memastikan bahwa media kembali kepada fungsi utamanya: melayani kebenaran dan kepentingan publik, bukan hanya mengejar keuntungan atau agenda tertentu.

Pertentangan Tujuh Dosa Pokok dengan Ajaran Gereja

Secara teologis; Tujuh dosa media bertentangan dengan nilai-nilai inti Kekristenan seperti kebenaran, kasih, dan keadilan. Media yang menyimpang dari tanggung jawab moralnya melanggar prinsip-prinsip moral yang diajarkan Kristus, seperti kasih terhadap sesama dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Secara filosofis; Pelanggaran-pelanggaran ini merusak tatanan sosial yang berlandaskan etika komunikasi. Filosofinya, dosa-dosa media menciptakan budaya manipulasi dan eksploitasi, yang bertentangan dengan nilai kebebasan, keadilan, dan solidaritas.

Kesimpulan

Tulisan ini menegaskan bahwa media, sebagai salah satu kekuatan utama dalam masyarakat, memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menyampaikan kebenaran, menjaga keadilan, dan menghormati martabat manusia. Namun, melalui analisis terhadap tujuh dosa pokok media yang diidentifikasi oleh Paul Johnson—distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, pelanggaran privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seksualitas, racun bagi pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan—dapat dilihat bahwa media sering kali menyimpang dari fungsi idealnya.

Dalam terang ajaran Gereja Katolik, seperti yang dikemukakan dalam dokumen Inter Mirifica, Ethics in Internet, dan Laudato Si’, penyimpangan ini tidak hanya melanggar prinsip moral teologis seperti Veritas, Caritas, dan Iustitia, tetapi juga merusak tatanan sosial yang berlandaskan keadilan dan solidaritas. Gereja menyerukan reformasi mendalam dalam praktik media, menuntut kejujuran, etika, dan tanggung jawab untuk mendukung bonum commune (kebaikan bersama).

Melalui refleksi filosofis dan teologis, tulisan ini menjadi seruan bagi pelaku media, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas untuk memulihkan integritas media sebagai alat pewartaan kebenaran dan kasih. Media yang etis dan bertanggung jawab bukan hanya alat informasi, tetapi juga sarana pembaruan sosial dan spiritual yang mendukung kehidupan yang bermartabat dan berkeadilan.

 

oleh Rm. Yudel Neno, Pr

Facebook Comments Box

Penulis : Yudel Neno, Pr

Editor : Tim

Sumber Berita : Dokumen Gereja Katolik ; Inter Mirifica, Communio et Progressio, Etika dalam Komunikasi, Gereja dan Internet, Etika dan Internet serta Perkembangan Cepat

Berita Terkait

Pendidikan sebagai Media Pengembangan Dialog Integral: Pendekatan Filosofis Deskriptif-Eksposisif
Mengukir Makna Mengenang Lima Tahun Imamat
Berikanlah dengan Cuma-Cuma; Sebuah Refleksi Spiritual di HUT ke-60 Romo Herman Punda Panda
Diam Bersama dengan Rukun
Menenun Mutiara di Balik Kegiatan OGF Unio Regio Nusra
Kerajaan Allah Ibarat Biji Sesawi dan Hikmahnya Bagi Giat OMK
Berita ini 75 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 30 Desember 2024 - 03:12 WITA

Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial dan Penggunaannya serta Kritik terhadap Tujuh Dosa Pokok Media Menurut Paul Johnson

Selasa, 26 November 2024 - 08:52 WITA

Pendidikan sebagai Media Pengembangan Dialog Integral: Pendekatan Filosofis Deskriptif-Eksposisif

Kamis, 21 November 2024 - 08:27 WITA

Mengukir Makna Mengenang Lima Tahun Imamat

Senin, 18 November 2024 - 14:53 WITA

Berikanlah dengan Cuma-Cuma; Sebuah Refleksi Spiritual di HUT ke-60 Romo Herman Punda Panda

Kamis, 31 Oktober 2024 - 05:33 WITA

Diam Bersama dengan Rukun

Berita Terbaru