Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis Ciptaan

- Penulis

Selasa, 14 Januari 2025 - 13:45 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

LopoNTT.com – OPINI – Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis CiptaanRm. Yudel Neno, Pr

Catatan Pendahuluan

Konsep “Berhenti pada Hari Ketujuh” dalam narasi penciptaan (Kejadian 2:1-3) menyiratkan ajakan untuk merefleksikan relasi manusia dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Dalam tindakan Allah yang berhenti, memberkati, dan menguduskan hari ketujuh, terdapat pesan teologis yang mendalam tentang kesakralan ciptaan, keharmonisan kosmik, dan pentingnya ritme antara kerja dan istirahat. Sebagai kebudayaan Allah, tindakan ini menjadi teladan bagi manusia dalam pengelolaan alam secara berkelanjutan, sebagaimana ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ dan Laudate Deum. Kedua dokumen tersebut menegaskan panggilan spiritualitas ekologis yang relevan di tengah krisis lingkungan global saat ini.

Makna Teologis Berhenti pada Hari Ketujuh

Berhenti pada hari ketujuh adalah pernyataan teologis tentang harmoni antara Allah dan ciptaan-Nya. Tindakan ini menegaskan bahwa istirahat adalah bagian dari ritme kehidupan yang menguduskan pekerjaan manusia dan merayakan keindahan ciptaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berhenti pada hari ketujuh, sebagaimana tertuang dalam narasi penciptaan (Kejadian 2:1-3), memiliki makna yang mendalam sebagai tindakan Allah yang penuh hikmat. Ini bukan sekadar istirahat setelah pekerjaan yang selesai, melainkan deklarasi teologis tentang keharmonisan, kesakralan, dan keutuhan ciptaan. Allah tidak hanya berhenti tetapi juga memberkati dan menguduskan hari ketujuh, memberikan teladan tentang bagaimana manusia seharusnya memahami ciptaan. Sebagai kebudayaan Allah, tindakan ini mengajarkan ritme yang seimbang antara kerja dan istirahat, antara produksi dan kontemplasi, serta antara eksploitasi dan pelestarian. Dalam konteks ini, Ensiklik Laudato Si’ dan Dokumen Laudate Deum karya Paus Fransiskus menghidupkan kembali panggilan spiritualitas ekologis yang relevan untuk zaman ini.

Narasi Penciptaan dan Kesakralan Ciptaan

Narasi penciptaan menekankan bahwa segala sesuatu diciptakan baik adanya dan harus dihormati dalam keharmonisan dengan kehendak ilahi. Kesakralan ciptaan mengundang manusia untuk bertanggung jawab sebagai penjaga, bukan pemilik, dari dunia ini.

Kitab Kejadian 2:1-3 menempatkan tindakan Allah sebagai puncak dari seluruh karya penciptaan. Frasa “berhenti” dalam bahasa Ibrani diterjemahkan dari kata shabbat, yang tidak hanya berarti istirahat fisik, tetapi juga berhenti untuk merenungkan dan mensyukuri hasil karya. Dalam tindakan ini, Allah menguduskan hari ketujuh, menunjukkan bahwa seluruh ciptaan itu baik adanya (Kejadian 1:31). Kesakralan ini memanggil manusia untuk meneladani Allah dalam menjaga batasan dan menghindari eksploitasi berlebihan atas alam. Dalam Mazmur 24:1, ditegaskan bahwa “Bumi adalah milik Tuhan dan segala isinya,” yang mengingatkan manusia bahwa kita hanyalah penjaga ciptaan, bukan pemiliknya.

Nilai Spiritualitas Ekologis dalam Laudato Si’

Laudato Si’ mengajarkan bahwa setiap makhluk mencerminkan kehadiran Allah dan memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati. Spiritualitas ekologis menanamkan rasa syukur dan tanggung jawab dalam merawat bumi sebagai rumah bersama.

Melalui Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa setiap makhluk memiliki nilai intrinsik dan mencerminkan kemuliaan Allah (Laudato Si’, 65). Kehadiran Allah dalam ciptaan mengundang manusia untuk menghormati keberadaan makhluk lain, tidak semata-mata karena manfaatnya bagi manusia, tetapi karena mereka adalah bagian integral dari kehendak ilahi. Dalam nomor 71, Laudato Si’ menyoroti Hukum Sabat yang bukan hanya ditujukan untuk manusia, tetapi juga untuk tanah. Praktik ini menunjukkan bahwa alam juga membutuhkan waktu untuk beristirahat dan memulihkan dirinya. Selain itu, dalam nomor 237, spiritualitas Sabat menjadi undangan untuk merayakan sukacita hidup yang seimbang dan bersyukur atas anugerah ciptaan.

Urgensi Solidaritas Ekologis dalam Laudate Deum

Laudate Deum menyerukan tindakan kolektif untuk melindungi ciptaan yang sedang terancam oleh eksploitasi berlebihan. Solidaritas ekologis adalah panggilan moral untuk memperbaiki pola konsumsi yang merusak dan hidup selaras dengan ritme alam.

Sementara itu, Laudate Deum (Seruan Apostolik Paus Fransiskus) menekankan urgensi tindakan kolektif untuk mengatasi krisis lingkungan global. Dalam nomor 5, Dokumen ini berbicara tentang kebutuhan manusia untuk selaras dengan ritme alami ciptaan. Berhenti, sebagaimana dicontohkan oleh Allah, bukan hanya bentuk pengakuan terhadap keterbatasan manusia, tetapi juga solidaritas spiritual dengan alam. Dalam nomor 13-14, Paus Fransiskus mengecam ketamakan dan eksploitasi berlebihan yang telah merusak bumi, menyerukan manusia untuk menghidupkan kembali simbol Sabat sebagai cara untuk menghentikan pola konsumsi yang merusak. Nomor 17-18 dari Dokumen ini menekankan gagasan “puasa ekologis,” di mana manusia diajak untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak perlu sebagai bentuk penghormatan terhadap ciptaan.

Praktik Ekologis Sabat sebagai Implementasi Spiritualitas

Praktik Sabat ekologis mengingatkan manusia untuk menghentikan eksploitasi alam dan memberi waktu pemulihan bagi bumi. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap ritme alami ciptaan dan komitmen untuk kehidupan yang berkelanjutan.

Untuk menghidupi spiritualitas Sabat dalam pengelolaan alam, manusia perlu merenungkan kembali ritme hidupnya. Ini dapat dimulai dari refleksi personal dan komunitas, di mana waktu khusus dialokasikan untuk menghentikan eksploitasi alam dan merenungkan hubungan manusia dengan ciptaan. Praktik ekologis Sabat juga dapat diwujudkan dengan memberikan “hari istirahat” bagi alam melalui pengurangan aktivitas industri, penggunaan sumber daya yang berlebihan, dan adopsi pertanian berkelanjutan. Pendidikan tentang nilai-nilai Sabat dapat menjadi bagian integral dari ekologi integral, seperti yang ditekankan dalam Laudato Si’ nomor 210, untuk membentuk kesadaran akan perlunya harmoni antara manusia dan lingkungan.

Refleksi Spiritualitas Ekologis untuk Masa Depan

Spiritualitas ekologis adalah landasan penting untuk membangun masa depan yang harmonis antara manusia, alam, dan Allah. Refleksi ini menuntun manusia untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Berhenti pada hari ketujuh mengingatkan manusia bahwa dunia adalah anugerah yang harus dirawat, bukan dimiliki atau dieksploitasi tanpa batas. Spiritualitas ini menjadi jawaban atas krisis ekologis global dengan menanamkan rasa hormat terhadap ciptaan dan rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Dalam kesadaran akan kesakralan ciptaan, manusia dipanggil untuk menjaga keutuhan dunia ini demi generasi mendatang, sebagaimana Allah sendiri telah merencanakan sejak awal. Ritme kerja dan istirahat menjadi tanda pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dengan demikian, berhenti adalah tindakan spiritual, ekologis, dan moral yang mencerminkan kehendak Allah untuk dunia yang seimbang dan penuh damai.

Berhenti sebagai Tindakan Spiritual, Ekologis, dan Moral

Berhenti adalah wujud penghormatan terhadap Allah, alam, dan kehidupan melalui tindakan yang seimbang dan bijaksana. Dalam konteks spiritual, ekologis, dan moral, berhenti menjadi panggilan untuk melestarikan ciptaan dalam kehendak Allah yang adil dan penuh damai.

Berhenti sebagai tindakan Spiritual mengandung arti sebagai kesempatan untuk merenungkan dan bersyukur kepada Allah atas rahmat dikaruniakan melalui keindahan dan kekayaan alam. Berhenti sebagai tindakan ekologis, mengandung arti bahwa alam perlu istrahat; alam membutuhkan ketenangan; saat di mana alam harus berhenti untuk dieksploitasi. Berhenti sebagai tindakan moral mengandung arti bahwa manusia perlu menggunakan prinsip moral sebagai landasan etis dalam pertimbangan untuk mengelola alam. Sebagaimana prinsip umum moral tentang lakukanlah yang baik dan hindarilah yang jahat, sedemikian itu, apabila manusia bertindak demikian, maka sesungguhnya ia sementara menghidupi kehendak Allah di dalam kebijaksanannya membuat pertimbangan dan melakukan tindakan.

Catatan Kesimpulan

Berhenti pada hari ketujuh adalah simbol universal dari kehendak Allah yang mencerminkan keseimbangan dan kesakralan ciptaan. Melalui tindakan ini, Allah menunjukkan teladan tentang bagaimana manusia dapat menghormati ciptaan dengan menjaga harmoni antara eksploitasi dan pelestarian. Laudato Si’ dan Laudate Deum menggarisbawahi pentingnya spiritualitas Sabat dalam menumbuhkan kesadaran ekologis, mengurangi eksploitasi alam, dan mengadopsi gaya hidup yang lebih berkelanjutan.

Berhenti tidak hanya sekadar momen istirahat, tetapi juga kesempatan untuk merenungkan, bersyukur, dan mengambil tindakan moral yang didasarkan pada prinsip kebaikan universal. Dalam kesadaran bahwa dunia adalah anugerah yang harus dirawat, manusia dipanggil untuk menjaga keutuhan ciptaan demi generasi mendatang. Dengan menjadikan spiritualitas Sabat sebagai landasan, manusia dapat berpartisipasi dalam rencana Allah untuk dunia yang harmonis, adil, dan damai.

 

Sumber Bacaan :

Ensiklik Laudato Si’, Anjuran Apostolik Laudate Deum dan Bahan APPN 2025

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial dan Penggunaannya serta Kritik terhadap Tujuh Dosa Pokok Media Menurut Paul Johnson
Peran Orang Muda Katolik dalam Menanti di Masa Adventus: Sebuah Kajian Pastoral dan Teologis
Pendidikan sebagai Media Pengembangan Dialog Integral: Pendekatan Filosofis Deskriptif-Eksposisif
Mengukir Makna Mengenang Lima Tahun Imamat
Berikanlah dengan Cuma-Cuma; Sebuah Refleksi Spiritual di HUT ke-60 Romo Herman Punda Panda
Diam Bersama dengan Rukun
Menenun Mutiara di Balik Kegiatan OGF Unio Regio Nusra
Cinta Kasih dan Banalitas Kejahatan
Berita ini 28 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 14 Januari 2025 - 13:45 WITA

Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis Ciptaan

Senin, 30 Desember 2024 - 03:12 WITA

Ajaran Gereja Katolik tentang Media Sosial dan Penggunaannya serta Kritik terhadap Tujuh Dosa Pokok Media Menurut Paul Johnson

Kamis, 19 Desember 2024 - 03:52 WITA

Peran Orang Muda Katolik dalam Menanti di Masa Adventus: Sebuah Kajian Pastoral dan Teologis

Selasa, 26 November 2024 - 08:52 WITA

Pendidikan sebagai Media Pengembangan Dialog Integral: Pendekatan Filosofis Deskriptif-Eksposisif

Kamis, 21 November 2024 - 08:27 WITA

Mengukir Makna Mengenang Lima Tahun Imamat

Berita Terbaru

Kitab Suci

Berhenti pada Hari Ketujuh: Spiritualitas Ekologis Ciptaan

Selasa, 14 Jan 2025 - 13:45 WITA

Opini

Kegilaan Digital dan Kontrol Algoritmik

Sabtu, 11 Jan 2025 - 09:27 WITA