Praktek Politik dan Memudarnya Nilai Rasa Kemanusiaan

- Penulis

Senin, 28 Oktober 2024 - 12:30 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

LopoNTT.comOPINIRm. Yudel Neno, Pr

“Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dan non-konstitusional.”Niccolò Machiavelli

Pendahuluan

Dalam dunia ideal, politik seharusnya menjadi alat yang memperjuangkan nilai kemanusiaan dan kesejahteraan bersama. Namun, dalam praktiknya, politik sering kali justru menindas dan mengorbankan rasa kemanusiaan demi kepentingan segelintir pihak. Para pemimpin dan politisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat sering kali justru terlibat dalam tindakan yang merongrong nilai kemanusiaan, seperti korupsi, manipulasi, dan eksploitasi kekuasaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Problem yang terjadi adalah ketika politik yang idealnya melayani dan memajukan masyarakat, justru menjadi sarana yang memperkuat kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Fenomena ini menimbulkan krisis moral yang serius di tengah masyarakat, di mana rasa solidaritas dan kebebasan sering kali dipasung oleh praktik-praktik politik yang menindas. Dalam opini ini, kita akan menyoroti beberapa pandangan filosof dan politisi tentang politik, serta berbagai praktik yang mengabaikan nilai kemanusiaan.

Definisi Politik Menurut Beberapa Filsuf 

Bagi Aristoteles (Filsuf Yunani Kuno), politik merupakan sarana bagi masyarakat untuk mencapai kebaikan tertinggi. Menurutnya, manusia adalah zoon politikon atau makhluk sosial yang hanya dapat mencapai kesempurnaan melalui kehidupan bermasyarakat dan politik.

Sementara itu, Machiavelli (Filsuf Italia), melihat politik lebih pragmatis, sebagai upaya mencapai dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun, termasuk mengesampingkan etika jika perlu. Dari dua pandangan ini, kita dapat melihat bahwa politik bisa menjadi alat kesejahteraan, atau justru menjadi alat kekuasaan tanpa batas.

Jenis-Jenis Praktek Politik yang Merongrong Nilai Rasa Kemanusiaan

Beberapa praktik politik yang sering kali mengabaikan nilai kemanusiaan antara lain:

Korupsi dan Nepotisme: Korupsi merampas hak rakyat atas kesejahteraan. Nepotisme membuat kekuasaan hanya dikuasai oleh kalangan tertentu yang memiliki hubungan dengan pemegang kekuasaan.

Kampanye Hitam: Demi memenangkan pemilu, tidak jarang politisi menggunakan kampanye hitam yang menyerang lawan politik dengan informasi palsu, merusak reputasi, dan menyesatkan publik.

Eksploitasi Kekuasaan untuk Kepentingan Pribadi atau Kelompok: Banyak pemimpin yang menggunakan kekuasaan mereka hanya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya, mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Represi terhadap Kritik: Pembatasan kebebasan berbicara dan berpendapat sering dilakukan oleh rezim otoriter yang tidak toleran terhadap kritik.

Ketika Politik Mengabaikan Nilai Rasa Kemanusiaan

Politik yang mengabaikan kemanusiaan membuat keadilan menjadi ilusi. Para pemimpin yang mempraktikkan politik tanpa rasa kemanusiaan sering kali hanya peduli pada keuntungan pribadi atau kelompok, tanpa peduli penderitaan rakyat. Akibatnya, rakyat yang seharusnya dilayani dan dilindungi justru menjadi korban dari praktik-praktik politik yang tidak berperikemanusiaan.

Keadilan menjadi ilusi dalam konteks praktik politik yang tidak beretika berarti bahwa keadilan yang seharusnya menjadi tujuan utama politik menjadi sekadar bayangan atau angan-angan belaka, bukan sesuatu yang nyata dirasakan oleh masyarakat. Politik yang dijalankan demi kepentingan pribadi atau kelompok cenderung menciptakan sistem yang tidak berpihak pada masyarakat luas. Dengan kata lain, para pemimpin atau pihak yang berkuasa mungkin berbicara tentang keadilan, tetapi tindakan mereka sering kali bertentangan dengan prinsip keadilan tersebut.

Ini terjadi, misalnya, ketika hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa, sementara orang-orang yang memiliki kekuasaan dan akses ke jaringan politik bisa lolos dari hukum. Korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya sering kali mengorbankan hak-hak masyarakat yang lebih lemah dan membuat mereka sulit mendapatkan keadilan. Akibatnya, keadilan hanya “tampak” ada dalam pidato dan janji politik, tetapi kenyataannya sulit diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat banyak.

Politik Menghilangkan Nilai Rasa Solidaritas

Salah satu dampak dari politik yang menindas adalah hilangnya rasa solidaritas di tengah masyarakat. Di mana politik menjadi arena persaingan tak sehat, masyarakat terpecah belah. Orang menjadi sulit untuk bersikap solider atau peduli terhadap nasib sesama, karena solidaritas sering kali ditindas oleh politik yang penuh intrik dan manipulasi.

Solidaritas adalah rasa kebersamaan dan keterikatan sosial di antara individu atau kelompok yang mendorong mereka untuk saling peduli, mendukung, dan bekerja sama demi kebaikan bersama. Solidaritas tumbuh dari perasaan empati dan tanggung jawab terhadap sesama, terutama ketika menghadapi tantangan atau masalah yang sama.

Dalam konteks sosial dan politik, solidaritas sangat penting karena menciptakan ikatan yang memperkuat masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah, seperti ketidakadilan, bencana, atau kemiskinan. Dengan solidaritas, masyarakat lebih mampu bersatu untuk mencapai tujuan bersama, menegakkan keadilan, dan menjaga kesejahteraan.

Politik Membatasi Kebebasan Individu

Politik yang membatasi kebebasan individu berarti bahwa kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau sistem politik tertentu menghambat hak-hak dasar seseorang, seperti hak untuk berbicara, berekspresi, beragama, dan bergerak secara bebas. Dalam sistem yang represif, kebebasan individu sering kali dibatasi demi menjaga kekuasaan, stabilitas politik, atau keamanan negara, namun hal ini sering digunakan sebagai alasan untuk menekan suara yang berbeda atau kritis terhadap pemerintah.

Contohnya, jika pemerintah melarang warga untuk mengkritik kebijakan negara, membatasi akses ke informasi, atau mengatur kehidupan pribadi masyarakat secara ketat, maka ini adalah bentuk pembatasan kebebasan individu. Akibatnya, orang merasa takut untuk berpendapat atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik, karena khawatir akan menghadapi sanksi atau ancaman. Pembatasan kebebasan ini menghilangkan ruang bagi masyarakat untuk berkembang, berpikir kritis, dan berkontribusi secara positif dalam masyarakat.

Dalam sistem politik yang represif, kebebasan individu sering kali dikorbankan demi stabilitas kekuasaan. Warga tidak bebas untuk berpendapat, bergerak, atau mengembangkan potensi diri karena mereka diawasi dan dibatasi. Praktik ini jelas mengabaikan kemanusiaan, karena setiap individu memiliki hak untuk hidup bebas dan mengejar cita-citanya tanpa dihalangi oleh kepentingan politik tertentu.

Politik Memasung Hak Politik Masyarakat

Praktik politik yang memasung hak politik rakyat berarti membatasi atau bahkan meniadakan hak-hak dasar masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pengambilan keputusan di negara mereka. Hak politik meliputi hak untuk memilih pemimpin, hak untuk dipilih dalam jabatan publik, hak menyuarakan pendapat, dan hak berpartisipasi dalam kegiatan politik lainnya secara bebas. Ketika hak ini dipasung, rakyat kehilangan kendali atas arah kebijakan dan masa depan negara mereka.

Contohnya, dalam rezim otoriter, pemilihan umum sering kali tidak berjalan secara bebas dan adil. Masyarakat mungkin dipaksa untuk memilih kandidat tertentu, atau dihalangi untuk mencalonkan diri. Suara rakyat yang kritis bisa diabaikan atau ditekan, misalnya melalui intimidasi, ancaman, atau undang-undang yang melarang unjuk rasa atau mengontrol media. Dengan cara ini, hak rakyat untuk menentukan arah politik negara mereka dirampas, dan mereka menjadi sekadar “penonton” dalam sistem politik yang seharusnya mereka miliki.

Di beberapa negara, hak politik masyarakat dibatasi. Warga tidak memiliki hak untuk memilih atau mengajukan diri dalam pemilu, atau mereka dipaksa untuk memilih pemimpin tertentu. Ini merongrong prinsip demokrasi yang sejati, di mana setiap orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik dan memiliki suara yang sama.

Kampanye Hitam dan Nilai Rasa Kemanusiaan

Kampanye hitam (atau black campaign) adalah strategi dalam politik yang menggunakan informasi negatif, menyerang, atau mencemarkan nama baik lawan untuk menurunkan reputasinya. Dalam kampanye hitam, informasi yang disebarkan sering kali berupa fitnah, berita palsu, atau tuduhan yang belum tentu benar. Tujuannya adalah memanipulasi opini publik dengan merusak citra atau kredibilitas lawan politik, sehingga masyarakat cenderung memilih kandidat yang melakukan kampanye hitam karena hilangnya kepercayaan terhadap pihak lawan.

Secara etis, kampanye hitam melanggar nilai rasa kemanusiaan dalam beberapa aspek berikut:

Menghilangkan Rasa Hormat pada Kebenaran dan Kejujuran. Kampanye hitam sering kali menyebarkan informasi palsu atau menyesatkan, yang berarti menafikan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Dalam konteks kemanusiaan, setiap individu berhak mendapatkan informasi yang benar dan adil, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang berdasarkan realitas, bukan manipulasi atau kebohongan. Kampanye hitam, dengan menyebarkan kebohongan, merampas hak publik untuk mengetahui fakta yang jujur dan bertindak berdasarkan informasi yang benar.

Menghilangkan Rasa Hormat terhadap Martabat dan Harga Diri Individu. 
Setiap orang memiliki hak atas kehormatan dan martabatnya sebagai manusia. Kampanye hitam secara langsung melanggar hak ini dengan menyerang pribadi lawan politik dan merendahkan nilai serta reputasinya di hadapan publik. Menurut filsafat Immanuel Kant, manusia harus diperlakukan sebagai “tujuan” dalam dirinya sendiri, bukan sebagai “alat.” Namun, kampanye hitam memperlakukan individu sebagai alat yang bisa diserang demi mencapai kepentingan politik, tanpa mempertimbangkan harga diri dan martabatnya.

Menimbulkan Konflik dan Memecah Belah Solidaritas Sosial. Kampanye hitam cenderung memperburuk polarisasi dan merusak hubungan sosial dalam masyarakat. Dalam kampanye hitam, isu-isu sensitif sering dieksploitasi untuk memanipulasi emosi publik, sehingga masyarakat menjadi terpecah dan saling bermusuhan. Dengan demikian, kampanye hitam tidak hanya merusak hubungan antara kandidat, tetapi juga hubungan sosial di antara pendukung masing-masing pihak. Ini melanggar rasa solidaritas kemanusiaan, yang seharusnya menjadi dasar persatuan di tengah masyarakat.

Mengabaikan Nilai Empati dan Kemanusiaan.  Dalam kampanye hitam, empati sering kali ditinggalkan demi memenangkan pertarungan politik. Taktik ini cenderung memperlakukan lawan sebagai musuh yang harus dihancurkan, bukan sebagai manusia yang memiliki perasaan, keluarga, dan martabat. Tanpa empati, pelaku kampanye hitam mengabaikan dampak psikologis dan emosional pada individu yang diserang, sehingga rasa kemanusiaan benar-benar hilang dalam persaingan politik ini.

Menciptakan Lingkungan yang Tidak Sehat bagi Proses Demokrasi. Demokrasi idealnya dibangun atas dasar debat yang sehat, di mana gagasan dan program diperbandingkan secara objektif. Kampanye hitam, sebaliknya, mengarahkan fokus dari debat rasional menjadi serangan pribadi yang penuh manipulasi. Hal ini merusak kualitas proses politik dan hak publik untuk memperoleh pemahaman yang objektif, sekaligus menodai prinsip keadilan dalam demokrasi. Dengan merusak proses demokrasi yang sehat, kampanye hitam juga melanggar nilai kemanusiaan yang menghendaki politik untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Secara keseluruhan, kampanye hitam adalah praktik politik yang mengabaikan nilai rasa kemanusiaan karena melanggar prinsip kejujuran, merendahkan martabat manusia, dan menciptakan polarisasi yang tidak sehat dalam masyarakat. Dalam etika politik yang menghormati nilai kemanusiaan, pemimpin seharusnya mengedepankan transparansi dan mengangkat kualitas debat politik yang sehat, di mana setiap manusia tetap diperlakukan dengan hormat.

Kampanye Negatif dan Nilai Rasa Kemanusiaan 

Kampanye negatif adalah strategi yang digunakan dalam dunia politik untuk melemahkan atau mendiskreditkan lawan dengan menyoroti kelemahan atau kesalahan mereka, sering kali secara berlebihan atau manipulatif. Berbeda dengan kampanye positif yang fokus pada mempromosikan ide, program, atau kualitas seorang kandidat, kampanye negatif lebih condong untuk mencari kelemahan dan menyebarkan informasi yang merugikan lawan politik. Dalam banyak kasus, kampanye negatif melibatkan penyebaran isu sensitif, tuduhan yang belum tentu terbukti, hingga berita yang memanipulasi atau memperburuk situasi.

Letak pelanggaran terhadap nilai rasa kemanusiaan dalam kampanye negatif adalah pada penggunaan manipulasi psikologis yang sering kali mengorbankan reputasi, martabat, dan kehormatan seseorang. Berikut adalah beberapa aspek pelanggaran nilai kemanusiaan dalam kampanye negatif:

Merusak Martabat dan Reputasi Orang Lain.  Salah satu prinsip dasar nilai kemanusiaan adalah menghormati martabat setiap individu. Dalam kampanye negatif, martabat ini sering kali diabaikan. Lawan politik menjadi sasaran fitnah atau serangan personal yang berpotensi merusak reputasinya di mata publik. Tindakan ini tidak hanya mempengaruhi individu yang diserang, tetapi juga keluarganya, serta lingkungan sosialnya. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang menghargai setiap manusia apa adanya.

Manipulasi dan Kebohongan.  Kampanye negatif kerap menggunakan informasi yang tidak sepenuhnya benar atau bahkan sepenuhnya salah untuk menimbulkan kebencian atau ketidakpercayaan terhadap pihak lain. Dalam filsafat etika, misalnya, menurut Kantian Ethics, setiap manusia memiliki nilai intrinsik dan layak diperlakukan secara jujur dan transparan (Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals). Manipulasi dalam kampanye negatif melanggar prinsip ini, karena menggunakan kebohongan untuk merugikan pihak lain.

Menghilangkan Solidaritas dan Rasa Saling Percaya. Kampanye negatif memecah belah masyarakat dengan menciptakan perasaan saling curiga dan kebencian antar kelompok. Filosof Émile Durkheim, dalam karyanya The Division of Labor in Society, menekankan pentingnya solidaritas untuk menjaga keteraturan sosial. Ketika kampanye negatif mendorong masyarakat untuk membenci atau mengucilkan seseorang atau sekelompok orang, maka ikatan sosial yang penting untuk kedamaian dan kerjasama sosial menjadi terganggu. Ini berpotensi menurunkan rasa kemanusiaan di tengah masyarakat.

Menyebabkan Stres Psikologis.  Kampanye negatif juga sering kali menyebabkan stres psikologis dan ketidaknyamanan bagi mereka yang diserang. Dalam sudut pandang humanistik, manusia memiliki hak untuk hidup dengan tenang dan bebas dari tekanan yang tidak perlu. Psikolog seperti Carl Rogers berpendapat bahwa setiap individu memiliki kebutuhan akan penerimaan dan penghargaan dari orang lain untuk berkembang secara sehat. Ketika seseorang atau kelompok menjadi korban kampanye negatif, harga diri dan kesehatannya bisa terganggu, merusak perkembangan pribadi mereka sebagai manusia.

Menghalangi Pembentukan Kebijakan Berbasis Rasionalitas.  Kampanye negatif cenderung mengarahkan perdebatan publik pada isu-isu yang kurang substansial atau tidak berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Alih-alih berfokus pada ide atau program yang baik untuk masyarakat, kampanye negatif sering mengalihkan perhatian publik ke isu-isu personal yang kurang relevan. Ini merugikan nilai kemanusiaan secara keseluruhan karena masyarakat kehilangan kesempatan untuk menilai kebijakan secara objektif dan rasional, serta mendapatkan pemimpin yang berkomitmen pada kepentingan publik.

Secara keseluruhan, kampanye negatif melanggar nilai kemanusiaan karena mengesampingkan prinsip kejujuran, penghormatan terhadap martabat manusia, solidaritas sosial, serta kesejahteraan psikologis individu dan masyarakat. Dengan menggunakan cara-cara yang merugikan lawan secara personal, kampanye negatif menciptakan suasana politik yang penuh kebencian dan mengabaikan etika dasar yang seharusnya ada dalam interaksi sosial.

Politik Transaksional dan Nilai Rasa Kemanusiaan

Politik transaksional adalah praktik politik di mana hubungan dan dukungan politik didasarkan pada transaksi atau “tukar-menukar” kepentingan. Dalam konteks ini, dukungan politik diberikan tidak atas dasar kesamaan visi atau komitmen pada kesejahteraan publik, melainkan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, seperti posisi jabatan, proyek, dan sumber daya lainnya. Hubungan antara pelaku politik dalam politik transaksional cenderung bersifat jangka pendek dan berorientasi pada keuntungan langsung, mengabaikan nilai-nilai moral dan prinsip keadilan.

Letak pelanggaran politik transaksional terhadap nilai rasa kemanusiaan dalam politik terlihat dalam beberapa aspek berikut:

Mengabaikan Kepentingan Rakyat untuk Keuntungan Pribadi atau Kelompok.
Dalam politik transaksional, pemimpin atau politisi mungkin lebih berfokus pada cara memperluas kekuasaan atau memenuhi kepentingan pihak yang mendukung mereka. Akibatnya, mereka cenderung mengesampingkan kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan utama politik. Ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menekankan pada perlindungan dan kesejahteraan masyarakat luas. Misalnya, proyek pembangunan bisa diarahkan ke wilayah tertentu bukan karena kebutuhan masyarakat, tetapi karena adanya kesepakatan antara politisi dan pemodal besar. Dampaknya, masyarakat yang lebih membutuhkan menjadi terabaikan.

Merusak Integritas dan Transparansi. Transaksi di balik politik transaksional sering kali dilakukan secara tertutup, dan ini melanggar prinsip transparansi serta kejujuran dalam politik. Pelanggaran terhadap integritas ini mengaburkan akuntabilitas publik, karena masyarakat tidak sepenuhnya mengetahui alasan di balik keputusan politik yang diambil. Dari perspektif kemanusiaan, politik yang tidak transparan menghilangkan hak publik untuk mengetahui dan memeriksa apakah kebijakan diambil demi kebaikan mereka atau hanya demi keuntungan pihak tertentu. Filosof politik John Rawls menekankan pentingnya keadilan dan kejujuran dalam pengambilan keputusan agar kepentingan semua orang dapat diperhatikan.

Memperkuat Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Sosial.  Politik transaksional cenderung memperbesar ketidakadilan sosial, karena kekuasaan sering kali berada di tangan sekelompok kecil elit yang memiliki sumber daya atau pengaruh. Ketika kebijakan diambil berdasarkan kepentingan segelintir orang, masyarakat yang kurang memiliki akses atau pengaruh cenderung termarjinalkan. Ini melanggar nilai rasa kemanusiaan yang menghargai persamaan hak bagi setiap individu. Contoh konkretnya adalah distribusi proyek atau dana publik yang lebih menguntungkan pemodal atau daerah tertentu demi keuntungan politik, sementara daerah miskin atau kelompok marginal tetap tidak terlayani.

Menghilangkan Rasa Keadilan dan Solidaritas dalam Politik.  Politik transaksional menciptakan kesan bahwa kekuasaan dapat “dibeli” atau “ditukar” dengan keuntungan tertentu, dan ini merusak rasa keadilan. Masyarakat yang menyaksikan praktik ini mungkin kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada, serta merasa bahwa perjuangan politik tidak lagi mewakili mereka sebagai warga negara. Solidaritas antarsesama pun memudar, karena politik transaksional lebih banyak mendorong individu atau kelompok untuk berkompetisi demi keuntungan pribadi. Di sini, solidaritas—yakni prinsip untuk saling mendukung dan bekerja sama demi kesejahteraan bersama—menjadi kabur atau bahkan hilang.

Menurunkan Kualitas Kepemimpinan dan Layanan Publik.  Politik transaksional sering kali menempatkan orang-orang pada posisi kepemimpinan bukan karena kompetensi atau komitmen mereka pada kemanusiaan, tetapi karena hubungan politik mereka. Ini menurunkan kualitas pelayanan publik karena banyak jabatan penting dipegang oleh mereka yang hanya mencari keuntungan, tanpa keinginan tulus untuk melayani. Dalam jangka panjang, politik yang berorientasi pada transaksi ini memperburuk tata kelola pemerintahan dan membuat rakyat kehilangan hak untuk dilayani dengan baik.

Secara keseluruhan, politik transaksional melanggar nilai rasa kemanusiaan karena mengorbankan hak dan kebutuhan masyarakat demi kepentingan sempit para pelaku politik. Dengan berfokus pada keuntungan pribadi, politik transaksional merusak integritas, keadilan, dan solidaritas yang seharusnya menjadi dasar dalam kehidupan politik yang bermartabat.

Penutup

Praktik politik disebut berpotensi mengurangi nilai rasa kemanusiaan karena politik sering kali memprioritaskan kekuasaan, kepentingan pribadi, atau kelompok tertentu di atas moralitas dan kesejahteraan manusia. Secara filosofis, ini merujuk pada bagaimana politik cenderung bersifat pragmatis dan menjustifikasi tindakan yang mengabaikan kemanusiaan demi mencapai tujuan tertentu, sesuai prinsip “tujuan membenarkan cara” yang dikenal dalam pemikiran Niccolò Machiavelli. Dalam bukunya, The Prince, Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa pun untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk jika tindakan tersebut mengabaikan moralitas (Machiavelli, 1513). Pandangan ini menunjukkan bagaimana politik bisa mengesampingkan nilai kemanusiaan demi kekuasaan.

Filsuf lain, seperti Karl Marx, mengkritik politik yang mengabaikan kemanusiaan melalui konsep alienasi. Menurut Marx, sistem politik dan ekonomi kapitalis menciptakan ketidakadilan yang membuat manusia terasing dari dirinya sendiri dan sesamanya (Marx, Manuscripts of 1844). Ketika politik hanya memperjuangkan kepentingan elit atau kapitalis, maka nilai kemanusiaan masyarakat luas terabaikan, sehingga mereka tidak diperlakukan dengan adil dan setara. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan seperti solidaritas, empati, dan keadilan pun memudar dalam tatanan masyarakat.

Max Weber juga menyoroti fenomena serupa dalam konsep “etika tanggung jawab” (Ethics of Responsibility), di mana seorang pemimpin harus mempertimbangkan akibat dari tindakannya. Namun, Weber juga mencatat bahwa dalam praktik, banyak politisi lebih memilih “etika keyakinan” (Ethics of Conviction), di mana mereka bertindak berdasarkan kepentingan atau keyakinan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas (Weber, Politics as a Vocation, 1919). Hal ini mencerminkan betapa seringnya politik mengabaikan kemanusiaan dan nilai-nilai etis yang lebih besar.

Dengan demikian, secara filosofis, politik yang mengabaikan nilai kemanusiaan akan lebih mudah jatuh ke dalam praktik-praktik yang melukai masyarakat, baik melalui kekerasan, ketidakadilan, maupun represi terhadap kebebasan. Inilah sebabnya filsafat politik sering kali mempertanyakan dan mengkritik praktik politik yang tidak mengindahkan etika dan rasa kemanusiaan, karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan politik itu sendiri: menciptakan tatanan yang adil dan sejahtera bagi semua.

Kesimpulannya, politik merupakan aspek penting dalam kehidupan sosial dan seharusnya dijalankan dengan semangat melayani dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ketika politik dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, maka yang terjadi adalah hilangnya solidaritas, kebebasan, dan hak-hak dasar manusia. Dalam praktik yang benar, politik harus diarahkan pada kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang, bukan sebagai alat untuk menindas atau memanipulasi masyarakat. Kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak setiap individu harus menjadi nilai yang utama dalam politik, sehingga masyarakat dapat hidup dalam keharmonisan dan keadilan yang sejati.

 

Oleh Rm. Yudel Neno, Pr 

Facebook Comments Box

Penulis : Rm. Yudel Neno, Pr

Editor : Tim

Berita Terkait

RSUD Kefamenanu dan Pentingnya Nilai Rasa Kemanusiaan dalam Melayani
Semarak Bulan Bahasa Nasional Tahun 2024 dan Partisipasi Siswa-Siswi SMAN Pantura
Menenun Mutiara di Balik Kegiatan OGF Unio Regio Nusra
Janganlah Membawa Apa-Apa ..dan Kebaskanlah Debu di Kaki (Refleksi HUT ke – 34)
OMK Antara Cinta dan Moral
Berita ini 114 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 18 November 2024 - 01:54 WITA

RSUD Kefamenanu dan Pentingnya Nilai Rasa Kemanusiaan dalam Melayani

Senin, 28 Oktober 2024 - 12:30 WITA

Praktek Politik dan Memudarnya Nilai Rasa Kemanusiaan

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 04:06 WITA

Semarak Bulan Bahasa Nasional Tahun 2024 dan Partisipasi Siswa-Siswi SMAN Pantura

Selasa, 22 Oktober 2024 - 19:10 WITA

Menenun Mutiara di Balik Kegiatan OGF Unio Regio Nusra

Minggu, 14 Juli 2024 - 15:39 WITA

Janganlah Membawa Apa-Apa ..dan Kebaskanlah Debu di Kaki (Refleksi HUT ke – 34)

Berita Terbaru

Refleksi

Mengukir Makna Mengenang Lima Tahun Imamat

Kamis, 21 Nov 2024 - 08:27 WITA

Photo by <a href=Greg Bulla on Unsplash " width="129" height="85" />

Pemasaran Digital

Tips Mendapatkan Kata Kunci dalam Hitungan SEO

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:09 WITA

Pemerintahan

Mengapa Donald Trump Menang? Dan Apa Dampaknya Buat Indonesia

Sabtu, 9 Nov 2024 - 08:05 WITA